![]() |
|
Bisakah ada harmoni jika masih mencela
Sahabat Nabi?
|
|
![]() |
|
Oleh: Bahrul
Ulum
KETIKA melakukan investigasi saat terjadi konflik pertama (bulan Februari 2012), antara masyarakat Sunni dengan Syiah di desa Nanggernang, Omben, Sampang Madura, seorang warga Sunni yang mantan jamaah Syiah bercerita bahwa salah satu penyebab kemarahan warga Sunni yaitu karena Tajul Muluk, pemimpin Syiah desa tersebut dianggap terang-terangan telah mencela para sahabat Nabi, khususnya Abu Bakar, Umar, Usman dan istri Nabi yaitu Aisyah dan Khafso.
KETIKA melakukan investigasi saat terjadi konflik pertama (bulan Februari 2012), antara masyarakat Sunni dengan Syiah di desa Nanggernang, Omben, Sampang Madura, seorang warga Sunni yang mantan jamaah Syiah bercerita bahwa salah satu penyebab kemarahan warga Sunni yaitu karena Tajul Muluk, pemimpin Syiah desa tersebut dianggap terang-terangan telah mencela para sahabat Nabi, khususnya Abu Bakar, Umar, Usman dan istri Nabi yaitu Aisyah dan Khafso.
Tentu saja
perbuatan itu membuat marah warga Sunni yang di mata mereka, para sahabat
merupakan generasi terbaik yang dimiliki umat Ini. Jasa mereka kepada Islam dan
kaum muslimin amatlah besar. Allah telah memilih mereka sebagai kaum yang
diberi amanah untuk memperjuangkan, dan menyebarkan Islam. Karena itulah para
ulama sepakat bahwa mencela sahabat, apalagi sampai menganggapnya munafik,
merupakan perbuatan makar. [Baca pula; 22 Dakwaan yang Tuduhkan Pada Tajul
Muluk], berupa kajian dan temuan lebih dari 50 ulama Madura yang
telah disampaikan dalam sebuah pernyataan sikap hari Senin 21 Muharram
1427 H/ 20 Februari 2006 tentang ajaran yang dinilai meresahkan warga
ini.
Hukum dalam Mencela Sahabat Nabi
Hukum dalam Mencela Sahabat Nabi
Mengkafirkan
Para Sahabat Nabi yang telah dijamin surga oleh Allah Subhanahu Wata'ala
merupakan perkara yang berbahaya bagi aqidah seorang Muslim.
Karena Para Sahabat sebenarnya layak mendapat penghormatan dan pujian, karena banyak ayat maupun hadits Nabi yang memuji dan menjelaskan keutamaan mereka. Dalam surah Al-Hasr, Allah berfirman,”(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS: Al-Hasr: 8-10)
Karena Para Sahabat sebenarnya layak mendapat penghormatan dan pujian, karena banyak ayat maupun hadits Nabi yang memuji dan menjelaskan keutamaan mereka. Dalam surah Al-Hasr, Allah berfirman,”(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS: Al-Hasr: 8-10)
Demikian juga
dalam kitab-kitab hadits yang diterima sepanjang zaman oleh umat Islam dan dipegang
oleh para ulama untuk memahami agama ini, disebutkan bab-bab mengenai keutamaan
para sahabat. Bahkan dengan tegas disebutkan bahwa menghormati dan memuliakan
para sahabat merupakan salah satu bentuk ketaaatan kepada Rasulullah.
Al-Imam
al-Bukhari dalam sahihnya meriwayatkan hadits dari Jabir bin Abdullah ra
katanya: “Bersabda Rasulullah kepada kami pada hari Hudaibiyah (ketika Baiah
al-Ridwan) “Kamu semua adalah sebaik-baik penghuni bumi - ketika itu kami
berjumlah seribu empat ratus orang.” (HR.Bukhari)
Kecintaan
terhadap para sahabat juga dicontohkan oleh para Imam Syiah. Diantaranya
ditunjukkan oleh Zainal Abidin Ali bin Husein. Diriwayatkan dari
Ali al-Arbali di dalam kitabnya “Kasyful Ghummah” dari Imam Ali bin
Husein. "Datang menghadap Imam beberapa orang dari Iraq, mereka
mencaci maki Abu Bakar, Umar, dan Utsman (radhliyallahu 'anhum). Ketika mereka
sudah selesai berbicara, Imam berkata kepada mereka: "Apakah kalian mau
menjawab pertanyaanku? Apakah kalian adalah kaum Muhajirin? (sebagaimana firman
Allah Ta'ala: "Orang-orang yang diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka
menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar."? (QS:
Al Hasyr 8)). Mereka menjawab: "Bukan." Beliau kembali bertanya:
"Apakah kalian termasuk orang-orang yang dinyatakan dalam firman Allah
Ta'ala: ‘Orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman
sebelum kedatangan Muhajirin, mereka mencintai orang yang berhijrah kepada
mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa
yang diberikan kepada kaum Muhajirin; dan mereka mengutamakan orang-orang
Muhajirin, atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka sendiri membutuhkan
(apa-apa yang mereka berikan itu)."? (QS: Al Hasyr 9). Mereka menjawab:
"Bukan." Beliau berkata lagi: "Kalian telah mengakui, bahwa
kalian bukan termasuk salah satu dari dua golongan tersebut. Maka saya
bersaksi, bahwa kalian juga bukan dari golongan orang-orang sebagaimana difirmankan
Allah: "Mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang
beriman." (QS: Al Hasyr 10). Menyingkirlah kalian dariku, semoga Allah
menghukum kalian!" (Kasyful Ghummah Fi Ma’rifatil Aimmah, juz
II, hal 291)
Bahkan
kecintaan Ahlul Bait terhadap para sahabat tidak diragukan lagi, termasuk
kepada sahabat yang bersebarangan dengan mereka seperti Muawiyah. Hal ini
dijelaskan oleh ulama Syaih sendiri at-Thabarsi, dalam kitabnya al-Ihtijaj.
Dalam kitab
tersebut diejlaskan bahwa Ahlul bait masih lebih percaya kepada Muawiyah
daripada kepada kaum Syiah sendiri. Hal ini bisa dilihat dari apa yang
dikatakan oleh Imam Hasan bin Ali. Dari Zaid bin Wahb al-Juhani katanya:
Ketika al-Hasan bin ‘Ali a.s. ditikam di al-Madain aku datang menemuinya dalam
keadaan dia kesakitan. Maka aku pun berkata kepadanya: “Apa pandanganmu wahai
anak Rasulullah karena sesungguhnya orang banyak dalam keadaan kebingungan
(dengan apa yang terjadi)? Dia pun menjawab: “Demi Allah! Aku pikir Mu’awiyah
lebih baik untukku daripada mereka-mereka ini. Mereka mengaku sebagai Syi’ahku
tetapi mencari peluang untuk membunuhku, merampas barang berhargaku dan
mengambil hartaku. Demi Allah! Jikalau aku mengadakan perjanjian dengan
Mu’awiyah, dia akan melindungi darahku dan aku merasa aman dengan
(perlindungannya) terhadap keluargaku. Itu adalah lebih baik daripada mereka
(Syi’ah) membunuhku lalu akan tercampakkan kaum keluargaku dan isteriku. Demi
Allah! jikalau aku memerangi Mu’awiyah mereka akan menangkapku sehingga mereka
akan menyerahkanku kepadanya (Mu’awiyah) sebagai tawanan. Demi Allah! jika aku
mengadakan perdamaian dengannya dan aku dalam keadaan mulia adalah lebih baik
daripada dia membunuhku sebagai tawanan atau dia akan membantuku lalu ia
menjadi pengikut Bani Hasyim di akhir zaman.” (Ahmad bin Ali bin Abi Talib
at-Thabarsi, al-Ihtijaj, juz II, hal. 290)
Berdasar
keterangan tersebut para jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa
orang yang menghina sahabat Rasulullah adalah orang fasik dan munafik, bahkan
ada sebagian ulama yang mengkafirkannya. Sebaliknya, cinta kepada para
sahabat Nabi, baik itu Ahlul Bait maupun bukan merupakan tanda keimanan
seseorang.
Imam As-Suyuthi
ketika mengomentari hadits Rasulullah riwayat Al-Imam Muslim yang berbunyi;
“Mencintai orang Anshar adalah tanda keimanan, dan membenci mereka adalah tanda
kemunafikan" menulis sebuah penafsiran yang menarik:
“Tanda-tanda orang beriman adalah mencintai orang-orang Anshar karena siapa
saja yang mengerti martabat mereka dan apa yang mereka persembahkan berupa
pertolongan terhadap agama Islam, jerih-payah mereka memenangkannya, menampung
para sahabat (muhajirin,pen), cinta mereka kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam-, pengorbanan jiwa dan harta mereka di depan Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam-, permusuhan mereka terhadap semua orang (kafir) karena mengutamakan
Islam dan mencintainya, maka semua itu merupakan tanda kebenaran imannya, dan
jujurnya dia dalam berislam. Barangsiapa yang membenci mereka dibalik semua
pengorbanan itu, maka itu merupakan tanda rusak dan busuknya niat orang ini”. (Ad-Dibaj
Ala Shahih Muslim, juz I, hal. 92)
Abu Zur’ah ar
Razi yang dinukil perkataannya oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitabnya Al
Kifayah juga menilai bahwa orang yang menghina sahabat termasuk munafik. Ia
berkata, ‘Apabila kamu melihat seseorang menghina salah seorang sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwasanya dia adalah
seorang zindiq (munafik) karena dalam pandangan kami Rasululullah adalah benar,
al- Qur’an benar, dan yang menyampaikan al-Qur’an dan hadits kepada kita
hanyalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebenarnya orang-orang
itu hendak mencela para saksi kita untuk membatalkan al-Qur’an dan hadits.
Justru celaan lebih layak bagi orang-orang itu, merekalah kaum zindik.” (Al
Kifayah fi Ilmu Riwayah, juz 1, hal. 49)
Imam al-Hafizh
Abd Qadir al-Baghdadi bahkan mengkafirkan orang yang mengkafirkan para sahabat
dan melarang umat Islam shalat di belakang mereka. Ia berkata: “Adapun kelompok
yang senantiasa mengikuti hawa nafsu, seperti Jarudiyyah, Hisyamiyyah,
Jahmiyyah dan Syi’ah Imamiyyah yang telah mengkafirkan sahabat-sahabat, maka
kami mengkafirkan mereka dan tidak boleh mendoakan mereka serta tidak boleh
pula shalat di belakang mereka.” (Al-Farq Bain al-Firaq wa Bayani al-Firqotu
Najiyah, hal. 357)
Berdasar
pemahaman tersebut Imam Nawawi berpendapat bahwa orang yang mencela sahabat
harus dihukum. Ia berkata “Ketahuilah bahwa mencela para sahabat radhiallahu
'anhum adalah haram, ia termasuk perkara keji yang diharamkan baik kepada
mereka yang terlibat di dalam peristiwa fitnah atau selainnya. Ini karena
mereka adalah para mujtahid di dalam peperangan tersebut. al-Qadhi (‘Iyadh)
menambah: Mencela salah seorang daripada sahabat merupakan kesalahan yang
besar. Pandangan kami serta pandangan jumhur ulama adalah mereka itu dihukum
tetapi tidak dihukum mati. Namun menurut sebagian ulama Maliki mereka itu
dihukum mati. (Syarh Shahih Muslim bi al-Nawawi, juz XVI, hal.. 93)
Bedasar
keterangan tersebut ulama Sunni sepakat bahwa haram hukumnya mencela sahabat
Nabi. Para ulama hanya berbeda dalam hal hukuman yang diberikan kepada mereka
yang mencela sahabat Nabi.
Dengan dasar
inilah, konflik akan mungkin terus terjadi, jika tindakan mencela terhadap para
Sahabat Nabi masih terus dilakukan.*
Penulis adalah peneliti InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya
Penulis adalah peneliti InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya
Red: Cholis Akbar
0 komentar:
Posting Komentar