Kamis, 09 Agustus 2012

Pembatal dan hal-hal yang di anjurkan dalam I'tikaf

0 komentar

to: Faishol - SMAN 3 Tangerang
Pembatal I’tikaf
a. Jima’ (bersetubuh)
Allah ta’ala berfirman,
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
بين جل تعالى أن الجماع يفسد الاعتكاف واجمع أهل العلم على أن من جامع امرأته وهو معتكف عامدا لذلك في فرجها أنه مفسد لاعتكافه
“Allah ta’ala menjelaskan bahwa berjima’ membatalkan i’tikaf dan para ulama telah bersepakat ahwa seorang yang berjima’ dengan istrinya secara sengaja sementara dia sedang ber-i’tikaf, maka dia telah membatalkan i’tikafnya.”[1]

Ibnu Hazm mengatakan, “Mereka (para ulama) sepakat jima’ membatalkan i’tikaf.”[2]
b. Bercumbu
Bercumbu dengan pasangan yang disertai syahwat diharamkan bagi mu’takif berdasarkan kesepakatan ulama.[3]Namun, para ulama berselisih apakah hal itu membatalkan i’tikaf-nya.
Pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat Jumhur yang menyatakan bercumbu tidaklah membatalkan i’tikafnya kecuali bercumbu tersebut menyebabkan dirinya orgasme (maaf: mengeluarkan mani).
Ath Thabari rahimahullah ketika mengomentari firman Allah ta’ala ” وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “, beliau mengatakan,
وأولى القولين عندي بالصواب قول من قال : معنى ذلك : الجماع أو ما قام الجماع مما أوجب غسلا إيجابه وذلك أنه لا قول في ذلك إلا أحد قولين : إما جعل حكم الاية عاما أو جعل حكمها في خاص من معاني المباشرة وقد تظاهرت الأخبار عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : أن نساءه كن يرجلنه وهو معتكف فلما صح ذلك عنه علم أن الذي عنى به من معاني المباشرة البعض دون الجميع
“Pendapat yang paling benar menurutku adalah pendapat yang menyatakan bahwa maknanya adalah jima’ dan segala hal yang serupa dengan itu yang mengharuskan pelakunya mandi. Kemungkinan yang ada hanya dua, yaitu memberlakukan ayat tersebut secara umum atau mengkhususkan ayat tersebut untuk sebagian makna dari mubasyarah. Banyak hadits dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara jelas menginformasikan bahwa istri-istri beliau menyisir rambut beliau ketika sedang ber-i’tikaf, maka dapat diketahui bahwa makna mubasyarah dalam ayat ini hanya mencakup sebagian maknanya, bukan seluruhnya.”[4]
c. Keluar dari Masjid
Mu’takif diperkenankan keluar dari masjid jika terdapat udzur syar’i atau hendak menunaikan suatu kebutuhan yang mendesak. Contoh akan hal ini, mu’takif diperbolehkan keluar dari masjid untuk makan dan minum, jika tidak ada orang yang membawakan makanan dan minuman baginya ke masjid. Demikian pula, dia diperbolehkan keluar masjid untuk mandi janabah atau berwudhu, jika tidak mungkin dilakukan di dalam masjid.
‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepala beliau ke dalam kamarku, sementara beliau berada di dalam masjid, dan saya pun menyisirnya. Beliau tidak akan masuk ke dalam rumah ketika sedang ber-i’tikaf, kecuali ada kebutuhan mendesak.”[5]
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa mu’takif yang keluar dari tempat i’tikafnya di dalam masjid tanpa ada kebutuhan yang mendesak, tidak pula karena darurat, atau melakukan suatu perkara kebaikan yang diperintahkan atau dianjurkan, maka i’tikaf yang dilakukannya telah batal.”[6]
d. Memutus Niat untuk ber-i’tikaf
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa niat untuk ber-i’tikaf termasuk syarat i’tikaf. Dengan demikian, mu’takif yang tidak lagi berniat untuk ber-i’tikaf, maka batallah i’tikafnya. Hal ini berdasarkan keumuman sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya “[7]

Berbagai Perkara yang Dianjurkan ketika ber-i’tikaf
a. Memperbanyak ibadah mahdhah
Mu’takif (orang yang ber-i’tikaf) disyari’atkan memperbanyak ibadah mahdhah (ritual) seperti shalat, membaca Al-Quran, dzikir, dan ibadah yang semisal. Berbagai ibadah ini dapat membantu seorang untuk merealisasikan tujuan dan hikmah I’tikaf, yaitu memfokuskan hati dalam beribadah kepada-Nya dan memutus kesibukan dengan makhluk.
Demikian pula, yang termasuk dianjurkan adalah berpuasa ketika ber-i’tikaf di luar bulan Ramadhan menurut kalangan yang berpendapat bahwa puasa tidak termasuk sebagai syarat i’tikaf.
b. Melakukan ibadah muta’addiyah
Melakukan ibadah muta’addiyah (ibadah yang berdampak sosial) disyari’atkan bagi mu’takif apabila hukum ibadah muta’adiyah tersebut wajib dan tidak memakan waktu yang lama seperti mengeluarkan zakat, amar ma’ruf nahi mungkar, membalas salam, memberi fatwa, dan yang semisal.
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum ibadah muta’addiyah ketika ber-i’tikaf apabila tidak wajib dan memakan waktu yang lama, seperti melaksanakan kajian atau berdiskusi dengan seorang ‘alim, dan yang semisal. Sebagian ulama berpendapat hal tersebut disyari’atkan, sebagian yang lain berpendapat sebaliknya.
Ibnu Rusyd mengatakan, “Akar perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini adalah dikarenakan hal tersebut tidak disebutkan hukumnya. Maka, ulama yang berpandangan bahwa yang dimaksud i’tikaf adalah mengekang diri di masjid dengan melakukan aktivitas yang khusus, maka mereka berpendapat seorang mutakif hanya boleh melakukan ibadah shalat dan membaca Al-Quran. Sedangkan yang berpandangan bahwa yang dimaksud i’tikaf adalah mengekang diri dengan melakukan seluruh kegiatan ukhrawi, maka mereka membolehkan hal tersebut.”[8]
Pendapat yang kuat adalah hal tersebut disyari’atkan dan hal ini merupakan pendapat madzhab Hanafi[9] dan Syafi’i[10]. Pendapat ini berlandaskan pada beberapa dalil berikut:
Pertama, hadits Shafiyah radhiallahu ‘anha[11], di dalamnya disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberbincang-bincang dengan para istri beliau.
Kedua, hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu[12], di dalamnya disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dan memberi pengarahan kepada para sahabatnya.
Hukum yang terkandung dalam kedua hadits ini juga dapat diterapkan pada aktivitas kajian ketika ber-i’tikaf.
Ketiga, hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha[13] yang menyisirkan rambut nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau tengah ber-i’tikaf. Segi pendalilan dari hadits ini, jika menyisirkan rambut yang hukumnya mubah diperbolehkan tentulah melakukan ibadah selain shalat dan tilawah Al Quran lebih diperbolehkan.
c. Membuat Sekat atau Tenda di dalam Masjid
Disunnahkan bagi mu’takif, baik pria maupun wanita, membuat sekat atau tenda yang bisa dipergunakan untuk mengisolir diri dari para mu’takif lainnya. Hal ini berdasarkan perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[14] dan para istri beliau[15].
Hal ini lebih ditekankan bagi wanita yang ber-i’tikaf di masjid yang digunakan untuk shalat berjama’ah agar dirinya tidak terlihat oleh para pria sehingga tidak menimbulkan fitnah.[16]
d. Meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat
Mu’takif hendaknya meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[17] Hal ini berdasarkan dalil berikut:
  • Hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu yang telah lalu disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf di sebuah tenda kecil yang berpintukan lembaran tikar.[18]
  • Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan bahwa apabila rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin ber-i’tikaf, beliau melaksanakan shalat Subuh kemudian masuk ke tempat i’tikafnya).[19]
  • Kedua hadits ini menunjukkan bahwa seorang mu’takif hendaknya menyendiri agar bisa fokus beribadah dan hal itu baru dapat tercapai jika dia meninggalkan berbagai perkara yang tidak bermanfaat.
  •  Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Merupakan tanda baiknya keislaman seorang adalah meninggalkan segala yang tidak bermanfaat baginya.”[20]
e. Bergegas Menunaikan Shalat Jum’at
Mu’takif yang tidak beri’tkaf di masjid Jami’ dianjurkan untuk bergegas menunaikan shalat Jum’at berdasarkan keumuman hadits yang menganjurkan seorang untuk bersegera pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at.[21]

f. Tetap Berdiam di Masjid ketika Malam ‘Ied
Sebagian ulama menganjurkan agar mu’takif tetap berdiam di masjid pada malam ‘Ied dan baru keluar ketika hendak menunaikan shalat ‘Ied.[22]
Berbagai Perkara yang Diperbolehkan ketika ber-i’tikaf
a. Minum, Makan, dan Tidur
Ulama sepakat bahwa mu’takif diperbolehkan makan, minum, dan tidur di dalam masjid.[23] Dalil akan hal ini adalah sebagai berikut:
  • Firman Allah ta’ala,
    وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
    (Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).
    Ayat ini menunjukkan bahwa seorang mu’takif haruslah berada di dalam masjid, dengan demikian hal tersebut berkonsekuensi dirinya makan, minum, dan tidur di dalam masjid.
  • Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ber-i’tikaf tidak masuk ke dalam rumah kecuali terdapat kebutuhan yang mendesak.[24] Sehingga dapat dipahami bahwa beliau makan, minum, dan tidur di dalam masjid.
b. Dikunjungi Keluarga
Mu’takif boleh menerima kunjungan keluarganya berdasarkan Hadits Shafiyah radhiallahu ‘anha yang datang menjenguk beliau ketika ber-i’tikaf. [25]
Namun, kunjungan tersebut hendaklah tidak terlalu lama dan tidak sering dilakukan sehingga tidak mengurangi nilai dan tujuan ber-i’tikaf.
c. Menikah dan Menikahkan
Mu’takif juga diperbolehkan untuk menikah, menikahkan, menjadi saksi dalam pernikahan yang dilangsungkan di dalam masjid tempat dirinya ber-i’tikaf.
Dalil bagi hal ini adalah dalil-dalil yang membolehkan seorang mu’takif menjenguk orang sakit dan menyalati jenazah di dalam masjid. Selain itu, semua hal tersebut merupakan ketaatan dan pada umumnya tidak banyak menyita waktu, sehingga tidak menafikan tujuan ber-i’tikaf.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Seorang mu’takif diperbolehkan menikah dan menikahkan. Hal ini telah ditegaskan oleh Asy Syafi’i dalam Al Muktashar dan para rekan (beliau) sepakat akan hal ini serta saya tidak tahu ada khilaf akan hal ini.”[26]
Waffaqaniyallahu wa iyyakum.
Buaran Indah, Tangerang.
Maraji’ :
  1. Al Ijma’ karya Imam Ibnul Mundzir; Asy Syamilah.
  2. Al Inshaf fi Ahkamil I’tikaf karya Syaikh ‘Ali Hasan al Halabi.
  3. Al Jami’ li Ahkam Al Quran karya Imam Al Qurthubi; Asy Syamilah.
  4. Al Majmu’ karya Imam An Nawawi; Asy Syamilah.
  5. Al Qur-an dan Terjemahannya
  6. Fiqhul I’tikaf karya Syaikh Dr. Khalid bin ‘Ali Al Musyaiqih.
  7. Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il Ibn ‘Utsaimin karya Syaikh Muhammad al ‘Utsaimin; Asy Syamilah.
  8. Shahih Fiqhis Sunnah jilid 2 karya Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim
  9. Syarh Al Arba’in an Nawawi karya Syaikh Shalih alusy Syaikh.
  10. Tafsir Quran al-’Azhim 2/308 karya Imam Ibnu Katsir; Asy Syamilah.
  11. Tafsir Surat Al Baqarah 2/358 karya Syaikh Muhammad al ‘Utsaimin.
  12. Taisir Karim ar Rahman karya Syaikh Abdurrahman As Sa’di.
  13. ‘Umdah al-Qari karya Imam Al ‘Aini; Asy Syamilah.
  14. ‘Uudu ila Khairil ‘Ibad karya Syaikh Dr. Muhammad bin Isma’il Al Muqaddam.
  15. Zaadul Ma’ad karya Imam Ibnul Qayyim.
  16. Dll.

[1] Al Jami’ li Ahkamil Quran 2/324.
[2] Maratibul Ijma’ hlm. 41.
[3] Al Jami’ li Ahkamil Quran 2/332; Tafsir Ibnu Katsir 1/298; Asy Syamilah.
[4] Jami’ul Bayan 2/181.
[5] HR. Bukhari: 1925; Muslim: 297.
[6] Maratibul Ijma’ hlm. 48.
[7] HR. Bukhari: 1, Muslim: 1907.
[8] Bidayatul Mujtahid 1/312.
[9] Fathul Qadir 2/396.
[10] Al Umm 2/105; Al Majmu’ 6/528.
[11] HR. Bukhari: 1933.
[12] HR. Muslim: 1167.
[13] HR. Bukhari: 1925; HR. Muslim: 297.
[14] HR. Muslim: 1167.
[15] HR. Bukhari: 1929.
[16] Asy Syarhul Kabir ma’al Inshaf 7/582.
[17] Badai’ush Shana’i 2/117; Al Majmu’ 6/533.
[18] HR. Muslim: 1167.
[19] HR. Muslim: 1172.
[20] HR. Tirmidzi: 2318.
[21] HR. Bukhari: 841; Muslim: 850.
[22] Al Muwaththa:1/315; Al Majmu 6/475; Asy Syamilah.
[23] Badai’ush Shana’i 2/117; Al Mudawwanah 1/206; Raudhatut Thalibin 2/393; Al Mughni 4/383.
[24] HR. Bukhari: 1925; Muslim: 297.
[25] HR. Bukhari: 1933.
[26] Al Majmu’ 6/559.

0 komentar:

Posting Komentar