Konsumsi
Obat Penghalang Haidh Ketika Ramadhan
Alhamdulillah,
wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Kita
telah mengetahui bersama bahwa puasa adalah amalan mulia. Ganjaran di balik
amalan tersebut pun bisa jadi tak terhingga. Oleh karena itu, setiap orang yang
beriman dengan benar pasti tidak ingin luput dari amalan yang mulia ini.
Termasuk pula para wanita muslimah, mereka pun sangat ingin sekali menunaikan
puasa sebulan penuh, tanpa luput sehari pun juga. Padahal selama belum
monopause, si wanita sesuai ketentuan Allah, biasanya mengalami haidh setiap
bulannya. Di bulan Ramadhan pun ia akan mendapati masa haidh tersebut. Sehingga
ia mesti mengqodho’nya di luar Ramadhan. Yang jadi permasalahan, apabila si
wanita menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh agar ia dapat
berpuasa secara sempurna. Atau sebagian wanita juga punya keinginan untuk bisa
menikmati lailatul qadar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sehingga ia
pun menggunakan obat-obatan tersebut untuk menghalangi datang bulan. Apakah
menggunakan obat-obatan semacam itu dibolehkan?a
Inilah
pembahasan yang akan kami angkat pada kesempatan kali ini.
Pendapat Ulama Masa Silam
‘Abdur
Rozaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan Ibnu Jarir
pada kami, (ia berkata) bahwa ‘Atho’ ditanya mengenai seorang wanita yang
datang haidh lantas ia menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan haidhnya
padahal itu di masa haidnya, apakah ia boleh melakukan thowaf?
نعم إذا رأت الطهر فإذا هي رأت خفوقا ولم
تر الطهر الأبيض فلا
“Ia
boleh thowaf jika ia telah suci. Jika ia melihat suatu yang kering, namun belum
terlihat tanda suci, maka ia tidak boleh thowaf”, jawab ‘Atho’. (Mushonnaf
‘Abdur Rozaq, 1219)
‘Abdur
Rozaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan Ma’mar pada
kami, (ia berkata) telah menceritakan pada kami Washil, bekas budak Ibnu
‘Uyainah, (ia berkata) ada seseorang yang bertanya pada Ibnu ‘Umar mengenai
wanita yang begitu lama mengalami haidh lalu ia ingin mengkonsumsi obat yang
dapat menghentikan darah haidhnya. Washil berkata,
فلم ير بن عمر بأسا
“Ibnu
‘Umar menganggap hal itu tidak masalah.”
Ma’mar
berkata,
وسمعت بن أبي نجيح يسأل عن ذلك فلم ير به
بأسا
“Aku
mendengar Abu Najih menanyakan hal ini. Lantas ia menganggap perbuatan semacam
itu tidak mengapa.” (Mushonnaf ‘Abdur Rozaq, 1220). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah
berkata bahwa yang benar riwayat ini adalah perkataan Abu Najih.[1]
Dalam
Al Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan,
رُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللَّهُ ،
أَنَّهُ قَالَ : لَا بَأْسَ أَنْ تَشْرَبَ الْمَرْأَةُ دَوَاءً يَقْطَعُ عَنْهَا
الْحَيْضَ ، إذَا كَانَ دَوَاءً مَعْرُوفًا .
Diriwayatkan
dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, “Tidak mengapa seorang
wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut
baik (tidak membawa efek negatif).”[2] [3]
Penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya,
“Sebagian wanita ada yang bersengaja menggunakan obat-obatan untuk menghalangi
datangnya haidh yang rutin setiap bulannya. Mereka melakukan seperti ini dengan
tujuan supaya tidak lagi mengqodho’ puasa selepas bulan Ramadhan. Apakah
perbuatan seperti ini dibolehkan? Apakah ada syarat yang tidak membolehkan
wanita menggunakan obat semacam itu?”
Beliau
rahimahullah menjawab, “Dalam masalah ini aku berpandangan bahwa
hendaklah wanita tersebut tidak melakukan semacam itu. Hendaklah ia
menjalankan ketetapan Allah yang telah digariskan pada para wanita. Kebiasaan
datang haidh setiap bulannya di sisi Allah memiliki hikmah yang amat banyak
jika kita mengetahuinya. Hikmah yang dimaksud adalah bahwa kebiasaan datang
haidh ini termasuk kebiasaan yang normal, di mana haidh ini terjadi untuk
tujuan menghalangi si wanita dari berbagai bahaya yang dapat memudhorotkan
dirinya. Para pakar kesehatan telah menjelaskan efek negatif dari penggunaan
obat semacam itu. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda, “Laa dhororo wa laa dhiroor (Tidak ada bahaya dalam syari’at ini
dan tidak boleh mendatangkan bahaya tanpa alasan yang benar)[4].” Oleh karena itu, dalam masalah ini aku
berpandangan bahwa wanita hendaklah tidak menggunakan obat-obatan untuk
mengahalangi datangnya haidh. Alhamdulillah berkat karunia Allah, jika datang
haidh, wanita muslimah diperkenankan untuk tidak mengerjakan puasa dan shalat.
Ketika ia kembali suci, ia boleh kembali mengerjakan puasa dan shalat. Jika
berakhir Ramadhan, ia hendaklah mengqodho’ puasanya yang luput tadi.”[5]
Pernah
pula diajukan pertanyaan pada Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah,
“Jika wanita (kemungkinan) datang haidh di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan, apakah boleh ia menggunakan obat-obatan penghalang hamil supaya ia
tetap bisa menjalankan ibadah di hari-hari utama?”
Syaikh
rahimahullah menjawab, “Kami beranggapan tidak boleh menggunakan
obat-obatan tersebut untuk menolong dalam melakukan ketaatan pada Allah. Karena
datangnya haidh adalah ketetapan Allah pada kaum hawa.
Ada
kisah bahwa ‘Aisyah pernah ditemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
ketika itu ia sedang menemani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
haji wada’. Ia pun hendak melaksanakan umroh. Namun ia datang haidh sebelum
masuk Makkah. Lantas ketika ‘Aisyah pun menangis. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun bertanya, “Kenapa engkau sampai menangis?” ‘Aisyah pun
menjawab bahwa ia mendapati haidh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
bahwa itu sudah menjadi ketetapan Allah bagi kaum hawa. Jika seorang wanita
mendapati haidh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka pasrahlah
dengan ketetapan Allah. Janganlah menggunakan obat-obat tersebut . Ada
informasi dari pakar kesehatan yang sampai ke telinga kami, bahwa obat-obatan
membawa efek negatif pada rahim dan darah. Terkadang darah tersebut
merupakan sumber makanan bagi janin. Oleh karena itu, kami sarankan untuk
menjauhi obat-obatan semacam ini. Ketika datang haidh, hendaklah wanita
tersebut meninggalkan shalat dan puasa. Datangnya haidh ini sama sekali bukan
kreasi manusia, namun itu adalah ketentuan Allah.”[6]
Jika Tetap Menggunakan Obat Penghalang Datang Bulan
Syaikh
Abu Malik –penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah- menerangkan, “Haidh adalah
ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat
berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena
itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak
dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan
obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa.
Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia
dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada
qodho’ baginya. Wallahu a’lam.”[7]
Wahai Wanita, Ridholah pada Ketetapan Allah!
Jika
tidak mengkonsumsi obat-obatan penghalang datang bulan tidak membawa dampak negatif,
maka tidak mengapa menggunakannya. Namun sikap yang lebih baik
adalah setiap wanita muslimah ridho dengan ketetapan Allah, tanpa mesti
menggunakan obat-obatan semacam itu. Setiap ketetapan Allah pasti ada hikmah
yang luar biasa di balik itu semua. Lihatlah bagaimana sikap ‘Aisyah ketika ia
mendapati haidh padahal ia ingin melaksanakan haji.
Dari
‘Aisyah, ia berkata, “Kami keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tidak ada yang kami ingat kecuali untuk menunaikan haji. Ketika
kami sampai di suatu tempat bernama Sarif aku mengalami haid. Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam masuk menemuiku saat aku sedang menangis. Maka beliau
bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku jawab, “Demi Allah, pada tahun ini
aku tidak bisa melaksanakan haji!” Beliau berkata, “Barangkali kamu mengalami
haidh?” Aku jawab, “Benar.” Beliau pun bersabda,
فَإِنَّ ذَلِكَ شَىْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ
عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ
تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Yang
demikian itu adalah perkara yang sudah Allah tetapkan buat puteri-puteri
keturunan Adam. Maka lakukanlah apa yang dilakukan orang yang
berhaji kecuali thowaf di Ka’bah hingga kamu suci.” (HR. Bukhari no. 305
dan Muslim no. 1211)
Bagaimana Wanita Haidh dan Nifas Mengisi Hari-Harinya di
Bulan Ramadhan dan Lailatul Qadar?
Karena
wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti
itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita haidh
dan nifas lakukan ketika itu adalah,
- Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf.[8]
- Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah),
tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan
dzikir lainnya.
- Memperbanyak istighfar.
- Memperbanyak do’a.
- Memperbanyak sedekah dan kebaikan lainnya.[9]
Semoga
pembahasan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Disusun
di Panggang-GK, 16 Sya’ban 1431 H (29 Juli 2010)
0 komentar:
Posting Komentar