Segala puji bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Suatu
persoalan yang sering muncul di dunia bisnis adalah jual beli kredit melalui
pihak ketiga. Kasusnya adalah semacam ini: Sebuah dealer menjual motor kepada
Ahmad dengan cara kredit. Namun, Ahmad harus membayar cicilan kredit tersebut
kepada sebuah bank.
Praktek
jual beli seperti inilah yang banyak dipraktekkan di banyak dealer atau
showroom. Juga dapat kita temui praktek yang serupa pada beberapa KPR dan toko
elektronik. Sekarang, apakah jual beli semacam ini dibenarkan? Mari kita simak
pembahasan berikut, semoga kita bisa mendapatkan jawabannya.
Yang Harus Dipahami Terlebih Dahulu
Di awal pembahasan kali ini, kita akan
melihat terlebih dahulu praktek jual beli yang terlarang yaitu menjual barang yang belum selesai diserahterimakan atau masih berada di tempat penjual.
Contohnya
adalah Rizki memberi beberapa kain dari sebuah pabrik tekstil. Sebelum barang
tersebut sampai ke gudang Rizki atau selesai diserahterimakan, dia menjual
barang tersebut kepada Ahmad. Jual beli semacam ini adalah jual beli terlarang
karena barang tersebut belum selesai diserahterimakan atau belum sampai di
tempat pembeli.
Larangan di atas memiliki dasar dari sabda
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits yang
dibawakan oleh Bukhari dan Muslim. Bukhari membawakan hadits tersebut dalam
Bab:
باب بيع الطعام قبل أن يقبض وبيع ما ليس عندك
“Menjual bahan makanan sebelum diserahterimakan dan menjual
barang yang bukan miliknya.”
Sedangkan
An Nawawi dalam Shahih Muslim membawakan judul Bab,
بُطْلاَنِ بَيْعِ الْمَبِيعِ قَبْلَ الْقَبْضِ
“Batalnya jual barang yang belum selesai diserahterimakan.”
Hadits
yang menjelaskan hal tersebut adalah:
[Hadits Pertama]
Dari
Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى
يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia
menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”
Ibnu
‘Abbas mengatakan,
وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ مِثْلَهُ
“Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan
makanan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
[Hadits Kedua]
Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اشْتَرَى طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى
يَسْتَوْفِيَهُ وَيَقْبِضَهُ
“Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya
hingga menyempurnakannya dan selesai menerimanya.” (HR. Muslim)
[Hadits Ketiga]
Ibnu
‘Umar mengatakan,
وَكُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ
الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ
نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ.
“Kami biasa membeli bahan makanan dari orang yang berkendaraan
tanpa diketahui ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari
tempatnya.”
(HR. Muslim)
Dalam
riwayat lain, Ibnu ‘Umar juga mengatakan,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا
بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ
قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk
memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke
tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim)
Dari
hadits-hadits di atas menunjukkan beberapa hal:
1.
Terlarangnya menjual barang yang belum selesai diserahterimakan.
2.
Larangan menjual barang yang belum selesai diserahterimakan ini berlaku bagi
bahan makanan dan barang lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas di
atas.
3.
Barang yang sudah dibeli harus berpindah tempat terlebih dahulu sebelum dijual
kembali kepada pihak lain.
An
Nawawi mengatakan,
“Dalam hadits-hadits di atas terdapat
larangan untuk menjual barang hingga barang tersebut telah diterima oleh
pembeli. Dan para ulama memang berselisih pendapat dalam masalah ini. Imam Asy
Syafi’i mengatakan bahwa menjual kembali barang kepada pihak lain sebelum
diterima oleh pembeli adalah jual
beli yang tidak sah baik barang
tersebut berupa makanan, aktiva tetap (seperti tanah), barang yang bisa berpindah
tempat, dijual secara tunai ataupun yang lainnya.” (Syarh Muslim, 169-170)
Apa hikmah di balik larangan ini?
Hal
ini diterangkan dalam hadits lain. Dari Thowus, Ibnu ‘Abbas mengatakan,
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى أن يبيع
الرجل طعاما حتى يستوفيه . قلت لابن عباس كيف ذاك ؟ . قال ذاك دراهم بدراهم
والطعام مرجأ
“Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli bahan
makanan hingga barang tersebut telah diserahterimakan.”
Thowus mengatakan kepada Ibnu ‘Abbas, “Kenapa bisa demikian?”
Beliau pun mengatakan, “Sebenarnya yang terjadi adalah jual beli
dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.” (HR. Bukhari) [Bukhari:
39-Kitabul Buyu’, 54-Bab Masalah Jual Beli Bahan Makanan dan Barang yang
Ditimbun]
Hikmah
lainnya adalah karena barang yang diserahterimakan kepada pembeli boleh jadi
rusak. Hal ini disebabkan barang tersebut terbakar, rusak terkena air, atau
mungkin karena sebab lainnya. Sehingga jika pembeli barang tersebut menjual
kembali barang tadi kepada pihak lain, ia tidak dapat menyerahkannya.
Sekali Lagi Tentang Riba dalam Hutang Piutang (Riba Qordh)
Perlu diketahui bahwa yang namanya
hutang-piutang adalah salah satu jenis akad yang di dalamnya terdapat unsur
menolong dan mengulurkan tangan kepada orang yang membutuhkan bantuan. Sehingga
akad hutang-piutang semacam ini tidak
diperbolehkan sama sekali bagi siapa pun untuk mencari keuntungan. Keuntungan yang diperoleh dari hasil hutang
piutang seperti ini disebut riba yakni riba qordh.
Contoh riba qordh: Ahmad
berhutang pada Rizki sejumlah Rp.1.000.000,-. Kemudian Ahmad harus
mengembalikan hutang tersebut dengan jumlah lebih yaitu Rp.1.200.000,- dalam
jangka waktu satu bulan. Tambahan Rp.200.000,- inilah yang disebut riba.
Para
ulama memberi kaedah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
“Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah
riba.”
(Lihat Asy Syarh Al Mumthi’, 8/63)
Perlu diketahui bahwa perbuatan menarik riba
adalah perbuatan yang diharamkan dan suatu bentuk kezholiman. Kezholiman
meniadakan keadilan yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ
مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ
تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.”
(QS. Al Baqarah: 279)
Bagaimana
jika ada yang mengatakan bahwa orang yang berhutang itu ridho (rela) jika
dikenakan bunga atau riba? Ada dua sanggahan mengenai hal ini:
Pertama, ini sebenarnya masih tetap dikatakan suatu kezholiman
karena di dalamnya terdapat pengambilan harta tanpa melalui jalur yang
dibenarkan. Jika seseorang yang berhutang telah masuk masa jatuh tempo
pelunasan dan belum mampu melunasi hutangnya, maka seharusnya orang yang
menghutangi memberikan tenggang waktu lagi tanpa harus ada tambahan karena adanya
penundaan. Jika orang yang menghutangi mengambil tambahan tersebut, ini berarti
dia mengambil sesuatu tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika orang yang
berhutang tetap ridho menyerahkan tambahan tersebut, maka ridho mereka pada
sesuatu yang syari’at ini tidak ridhoi tidak dibenarkan. Jadi, ridho dari
orang yang berhutang tidaklah teranggap sama sekali.
Kedua,
pada hakikat senyatanya, hal ini bukanlah ridho, namun semi pemaksaan. Orang
yang menghutangi (creditor) sebenarnya takut
jika orang yang berhutang tidak ikut dalam mu’amalah riba semacam ini.
Ini adalah ridho, namun senyatanya bukan ridho. (Lihat penjelasan Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- dalam Fiqh
wa Fatawa Al Buyu’, 10)
Hati-hatilah
dengan riba karena orang yang memakan riba (rentenir) dan orang yang memberinya
(nasabah), keduanya sama-sama dilaknat.
Dari
Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang
menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.”
Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim) [Muslim: 23-Kitab Al
Masaqoh, 19-Bab Laknat pada Orang yang Memakan Riba dan yang Menyerahkannya].
Maksud perkataan “mereka semua itu sama”, Syaikh Shafiyurraahman
Al Mubarakfury mengatakan, “Yaitu sama dalam dosa atau sama dalam beramal
dengan yang haram. Walaupun mungkin bisa berbeda dosa mereka atau masing-masing
dari mereka dari yang lainnya.” (Minnatul Mun’im fi Syarhi Shohihil Muslim, 64)
Jadi bukan hanya rentenir saja yang
mendapatkan laknat dan dosa, namun orang yang menyerahkan riba (yaitu nasabah)
juga terlaknat berdasarkan hadits di atas. Nas-alullaha al ‘afwa wal ‘afiyah.
Perkreditan Melalui Pihak Ketiga
Setelah
kita mengetahui dua pembahasan di atas, yakni masalah jual beli barang sebelum
dipindahkan dan praktek riba dalam hutang-piutang, maka kita akan meninjau
praktek perkreditan mobil, motor ataupun rumah yang saat ini terjadi.
Gambarannya adalah sebagai berikut:
Sebuah
dealer menjual motor kepada Ahmad dengan cara kredit. Namun, Ahmad harus
membayar cicilan kredit tersebut ke bank atau PT. Perkreditan dan bukan dibayar
ke dealer, tempat ia membeli barang tersebut.
Kalau
kita mau bertanya, kenapa Ahmad harus membayar cicilan tersebut ke bank bukan
ke dealer yang menjualkan motor padanya?
Jawabannya:
Bank ternyata telah mengadakan kesepakatan
bisnis dengan dealer tersebut yang intinya: Bila ada pembeli yang membeli
dengan cara kredit, maka pihak banklah yang akan membayar secara cash kepada dealer. Sedangkan pembeli diharuskan membayarkan cicilan kepada
bank tadi. Dealer mendapatkan keuntungan karena dia mendapatkan uang cash langsung. Sedangkan bank mendapatkan keuntungan
karena dia menjual barang tersebut dengan harga lebih tinggi, namun dengan cara
kredit. Seandainya pembeli itu ngotot untuk membayar kepada dealer, maka pihak
dealer akan berkeberatan. Pihak dealer menganggap urusannya dengan pembeli
telah selesai, sekarang tinggal urusan pembeli dengan bank.
Jika
kita melihat, kejadian di atas memiliki dua penafsiran. Masing-masing
penafsiran akan jelas menunjukkan kesalahan, yaitu terjatuh dalam riba atau
dalam jual beli barang yang belum dipindahkan (diserahterimakan).
Penafsiran pertama:
Misalnya
kita anggap kalau harga motor adalah Rp. 15.000.000,- secara cash. Sedangkan
secara kredit adalah Rp. 18.000.000,-. Jadi, kemungkinan yang terjadi, bank
telah menghutangi pembeli motor sejumlah Rp.15.000.000,- dan dalam waktu yang
sama bank langsung membayarkannya ke dealer, tempat pembelian motor. Kemudian bank
akhirnya menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut sejumlah
Rp.18.000.000,-.. Bagaimana dengan akad semacam ini?
Ini adalah akad riba karena
bank menghutangi Rp.15.000.000,-, kemudian minta untuk dikembalikan lebih
banyak sejumlah Rp.18.000.000,-. Ini jelas-jelas adalah riba. Hukumnya
sebagaimana disebutkan dalam hadits yang telah lewat, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melaknat pemakan
riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba
(sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu
sama.”(HR. Muslim)
Penafsiran kedua:
Bank
telah membeli motor tersebut dari dealer dan menjualnya kembali kepada pembeli.
Jika memang penafsirannya seperti ini, maka ini berarti bank telah menjual
motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual (dealer) dan ini
berarti bank telah menjual barang yang belum sah ia miliki atau belum ia
terima. Di antara bukti hal ini adalah surat menyurat motor semuanya ditulis
dengan nama pembeli dan bukan atas nama bank. Penafsiran kedua ini sama dengan
penafsiran Ibnu ‘Abbas yang pernah kami sebutkan,
ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ
“Sebenarnya yang terjadi adalah jual beli dirham dengan dirham,
sedangkan bahan makanannya ditunda.” (HR. Bukhari)
Jadi,
yang terjadi adalah jual beli rupiah dengan rupiah, sedangkan motornya ditunda.
Dengan demikian penjualan dengan cara seperti ini tidak sah karena termasuk
menjual barang yang belum selesai diserahterimakan.
Kesimpulan: Perkreditan dengan cara ini adalah salah satu bentuk akad
jual beli yang haram, baik dengan penafsiran pertama atau pun kedua
tadi. Wallahu
a’lam.
Alangkah baiknya jika kita sebagai seorang
muslim tidak melakukan praktek jual-beli semacam ini. Lebih baik kita membeli
barang secara cash atau meminjam uang dari orang lain (yang lebih
amanah, tanpa ada unsur riba) dan kita berusaha mengembalikan tepat waktu. Itu
mungkin jalan keluar terbaik.
Saudaraku, cukup nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berikut sebagai wejangan bagi kita semua.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah,
niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)
Semoga
tulisan ini bermanfaat bagi pengusaha muslim sekalian. Semoga Allah selalu
memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari
yang haram.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa
shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****
18
Rabi’ul Awwal 1430 H
0 komentar:
Posting Komentar