(( العادة محكمة ))
ADAT KEBIASAAN BISA
DITETAPKAN SEBAGAI HUKUM
- LANDASAN KAIDAH
Éè{
uqøÿyèø9$#
óßDù&ur
Å$óãèø9$$Î/
óÚÌôãr&ur
Ç`tã
úüÎ=Îg»pgø:$#
ÇÊÒÒÈ
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’rof
[7]: 199)
Dalam sebuah riwayat
yang mauquf,[1]
namun dihukumi marfu’[2] dalam
al Mustadrok karya Imam al Hakim disebutkan dari Abdulloh bin Mas’ud
beliau berkata:

مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ
اللهِ حَسَنٌ وَ مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّىءٌ
وَ قَدْ رَأَى الصَّحَابَةُ جَمِيْعًا أَنْ يَسْتَخْلِفُوْا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ
‘Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu juga
baik di sisi Alloh; dan apa yang dianggap buruk oleh kaum muslimin, maka hal
itu juga buruk di sisi Alloh. Sungguh para sahabat semuanya telah berpendapat
untuk menjadikan Abu Bakr sebagai kholifah.’
- PENJELASAN KAIDAH
Kata al ādat tidak
didapati dalam al Qur’an maupun as Sunnah, namun yang terdapat dalam keduanya dan
juga dalam literature bahasa Arab adalah kata al urf yang memiliki makna
serupa dengan kata al ādat sebagaimana yang tertera dalam ayat di atas.
Kata “adat” itu sendiri berarti berulang-ulangnya
sesuatu hingga hal tersebut tertanam dalam jiwa dan menjadi sesuatu yang sulit
dipisahkan darinya.
Menurut kaidah ini, semua adat kebiasaan dan urf yang
ada baik yang bersifat umum maupun khusus dapat membentuk satu hukum untuk
ditetapkan sebagai hukum yang diakui oleh syariat. Hal ini akan berlaku ketika
tidak ada nash atau dalil terkait hukum yang akan ditetapkan. Jika ada dalil,
tentu hal itu wajib diamalkan dan tidak boleh meninggalkan dalil yang ada untuk
satu adat yang telah menjadi kebiasaan.
Adat yang bersifat umum yang dimaksudkan di sini
adalah urf yang berlaku di seluruh negeri kaum muslimin, sejak zaman dahulu
hingga saat ini; sedang urf yang bersifat khusus maksudnya adalah urf yang
hanya berlaku di sebuah daerah tertentu dan tidak berlaku di wilayah yang
lainnya.
Para imam madzhab dalam membina hukum fiqh banyak
sekali yang memperhatikan ‘urf setempat. Diantaranya bisa dilihat dari madzhab
Imam Syafi’i yang telah banyak merubah fatwa dan ijtihadnya ketika beliau pindah
ke negeri Mesir dari Baghdad; dan kemudian ijtihad beliau disana dikenal dengan
al Qoul al Jadīd.
‘Urf itu sendiri akan dipergunakan ketika syari’at
menyebutkan suatu ketentuan secara mutlak tanpa adanya pembatasan dari segi
nash itu sendiri atau dari sisi bahasa.
Dalam hal ini ulama ushul menetapkan satu kaidah yang
menyatakan bahwa “Setiap ketentuan syari’at yang bersifat mutlak dan tidak ada
pembatasannya dalam syara’ dan dalam ketentuan bahasa, maka keputusannya
dikembalikan kepada ‘urf.”
Misalnya: dalam hukum pidana Islam (ahkāmul
Jarāim), seorang pencuri akan dihukum potong tangan ketika ia mengambil
barang curiannya dari tempat penyimpanan (al Hirzu) yang layak. Kata al
Hirzu yang menjadi salah satu standar hukum diberlakukannya hukum potong
tangan pengertiannya dikembalikan kepada ‘urf masyarakat yang ada.
Untuk sampai pada adat kebiasaan yang dapat membentuk
suatu hukum, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi; yaitu:
1.
Bersifat umum; artinya urf
tadi dipahami oleh semua lapisan masyarakat dan tidak ada pertentangan di
dalamnya atau kalaupun ada perselisihan terhadapnya skalanya sangat kecil
sehingga hal itu tidak mempengaruhi kesepakatan yang ada di masyarakat.
2.
Tidak bertentangan dengan
dalil shohih. Karena adat kebiasaan yang menyimpang atau bertentangan dengan
syari’at tidak dapat dijadikan sebagai satu hukum yang akan diterapkan kepada
kaum muslimin, meskipun adat kebiasaan tersebut telah dikerjakan oleh
kebanyakan manusia.
3.
Sudah berlaku sejak lama.
Misalnya ada seseorang yang mengatakan sumpah “Wallohi, saya tidak akan makan
daging selamanya.” Pada saat orang tadi mengatakan sumpahnya, masyarakat dan
urf yang ada sepakat bahwa yang dimaksud dengan kata “daging” yang tidak akan
dimakan adalah daging kambing dan daging sapi. Setelah sepuluh tahun, urf yang
ada menganggap bahwa kata “daging” mencakup semua jenis daging, termasuk daging
ikan. Ketika orang tersebut makan ikan, ia tidak dihukumi telah melanggar
sumpahnya. Karena sebuah lafadz tidak didasarkan pada urf yang muncul
belakangan.
- CABANG-CABANG KAIDAH DAN PENERAPANNYA
a. Al ma’rūfi ‘urfan kal masyrūthi
syarthon (sesuatu yang telah diketahui
sebagai adat kebiasaan seperti sesuatu yang telah disyaratkan). Contohnya orang
yang masuk ke hotel untuk menginap disana, orang yang masuk ke rumah makan,
orang yang naik taxi; semua itu menjadikan adanya konsekuensi bagi orang yang
melakukan hal-hal tersebut untuk membayar biaya yang dibutuhkan, meskipun biaya
tadi tidak disebutkan sebelumnya.
b. At Ta’yīn bil ‘urfi ka Ta’yīn bin
Nashshi (Yang telah dipastikan dengan urf
seperti yang dipastikan dengan dalil). Contohnya: ketika ada orang yang
memberikan amanat kepada saudaranya berupa wadīah[3]
untuk disimpannya beberapa waktu, maka orang yang menerima amanat ini harus
menyimpan barangg tadi di tempat yang sudah selayaknya dan menjadi urf di
masyarakatnya. Misalnya ketika yang di titipkan adalah emas perhiasan, maka ia
wajib menyimpannya di tempat yang aman seperti laci lemari atau kotak khusus
perhiasan.
c. Isti’mālun nāsi hujjatun yajibul
‘amalu bihā (apa yang digunakan kebanyakan
orang, bisa dijadikan argumen yang wajib dikerjakan). Contohnya ketika ada
seseorang yang meminta tolong kepada orang lain untuk memperbaiki kerusakan
yang terjadi di rumahnya; maka ketika urf di masyarakat tersebut selalu
memberikan upah untuk apa yang ia kerjakan, wajib bagi orang yang minta tolong
kepadanya untuk pekerjaan yang ia kerjakan memberi upah sesuai dengan urf yang
ada.
0 komentar:
Posting Komentar