Kamis, 26 Juli 2012

KAIDAH V

0 komentar



(( العادة محكمة ))
ADAT KEBIASAAN BISA DITETAPKAN SEBAGAI HUKUM

  1. LANDASAN KAIDAH
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ  
Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’rof [7]: 199)

Dalam sebuah riwayat yang mauquf,[1] namun dihukumi marfu’[2] dalam al Mustadrok karya Imam al Hakim disebutkan dari Abdulloh bin Mas’ud a beliau berkata:
مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَ مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّىءٌ وَ قَدْ رَأَى الصَّحَابَةُ جَمِيْعًا أَنْ يَسْتَخْلِفُوْا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu juga baik di sisi Alloh; dan apa yang dianggap buruk oleh kaum muslimin, maka hal itu juga buruk di sisi Alloh. Sungguh para sahabat semuanya telah berpendapat untuk menjadikan Abu Bakr sebagai kholifah.’


  1. PENJELASAN KAIDAH
Kata al ādat tidak didapati dalam al Qur’an maupun as Sunnah, namun yang terdapat dalam keduanya dan juga dalam literature bahasa Arab adalah kata al urf yang memiliki makna serupa dengan kata al ādat sebagaimana yang tertera dalam ayat di atas.
Kata “adat” itu sendiri berarti berulang-ulangnya sesuatu hingga hal tersebut tertanam dalam jiwa dan menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan darinya.
Menurut kaidah ini, semua adat kebiasaan dan urf yang ada baik yang bersifat umum maupun khusus dapat membentuk satu hukum untuk ditetapkan sebagai hukum yang diakui oleh syariat. Hal ini akan berlaku ketika tidak ada nash atau dalil terkait hukum yang akan ditetapkan. Jika ada dalil, tentu hal itu wajib diamalkan dan tidak boleh meninggalkan dalil yang ada untuk satu adat yang telah menjadi kebiasaan.
Adat yang bersifat umum yang dimaksudkan di sini adalah urf yang berlaku di seluruh negeri kaum muslimin, sejak zaman dahulu hingga saat ini; sedang urf yang bersifat khusus maksudnya adalah urf yang hanya berlaku di sebuah daerah tertentu dan tidak berlaku di wilayah yang lainnya.
Para imam madzhab dalam membina hukum fiqh banyak sekali yang memperhatikan ‘urf setempat. Diantaranya bisa dilihat dari madzhab Imam Syafi’i yang telah banyak merubah fatwa dan ijtihadnya ketika beliau pindah ke negeri Mesir dari Baghdad; dan kemudian ijtihad beliau disana dikenal dengan al Qoul al Jadīd.
‘Urf itu sendiri akan dipergunakan ketika syari’at menyebutkan suatu ketentuan secara mutlak tanpa adanya pembatasan dari segi nash itu sendiri atau dari sisi bahasa.
Dalam hal ini ulama ushul menetapkan satu kaidah yang menyatakan bahwa “Setiap ketentuan syari’at yang bersifat mutlak dan tidak ada pembatasannya dalam syara’ dan dalam ketentuan bahasa, maka keputusannya dikembalikan kepada ‘urf.”
Misalnya: dalam hukum pidana Islam (ahkāmul Jarāim), seorang pencuri akan dihukum potong tangan ketika ia mengambil barang curiannya dari tempat penyimpanan (al Hirzu) yang layak. Kata al Hirzu yang menjadi salah satu standar hukum diberlakukannya hukum potong tangan pengertiannya dikembalikan kepada ‘urf masyarakat yang ada.
Untuk sampai pada adat kebiasaan yang dapat membentuk suatu hukum, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi; yaitu:
1.      Bersifat umum; artinya urf tadi dipahami oleh semua lapisan masyarakat dan tidak ada pertentangan di dalamnya atau kalaupun ada perselisihan terhadapnya skalanya sangat kecil sehingga hal itu tidak mempengaruhi kesepakatan yang ada di masyarakat.
2.      Tidak bertentangan dengan dalil shohih. Karena adat kebiasaan yang menyimpang atau bertentangan dengan syari’at tidak dapat dijadikan sebagai satu hukum yang akan diterapkan kepada kaum muslimin, meskipun adat kebiasaan tersebut telah dikerjakan oleh kebanyakan manusia.
3.      Sudah berlaku sejak lama. Misalnya ada seseorang yang mengatakan sumpah “Wallohi, saya tidak akan makan daging selamanya.” Pada saat orang tadi mengatakan sumpahnya, masyarakat dan urf yang ada sepakat bahwa yang dimaksud dengan kata “daging” yang tidak akan dimakan adalah daging kambing dan daging sapi. Setelah sepuluh tahun, urf yang ada menganggap bahwa kata “daging” mencakup semua jenis daging, termasuk daging ikan. Ketika orang tersebut makan ikan, ia tidak dihukumi telah melanggar sumpahnya. Karena sebuah lafadz tidak didasarkan pada urf yang muncul belakangan.

  1. CABANG-CABANG KAIDAH DAN PENERAPANNYA
a.      Al ma’rūfi ‘urfan kal masyrūthi syarthon (sesuatu yang telah diketahui sebagai adat kebiasaan seperti sesuatu yang telah disyaratkan). Contohnya orang yang masuk ke hotel untuk menginap disana, orang yang masuk ke rumah makan, orang yang naik taxi; semua itu menjadikan adanya konsekuensi bagi orang yang melakukan hal-hal tersebut untuk membayar biaya yang dibutuhkan, meskipun biaya tadi tidak disebutkan sebelumnya.
b.      At Ta’yīn bil ‘urfi ka Ta’yīn bin Nashshi (Yang telah dipastikan dengan urf seperti yang dipastikan dengan dalil). Contohnya: ketika ada orang yang memberikan amanat kepada saudaranya berupa wadīah[3] untuk disimpannya beberapa waktu, maka orang yang menerima amanat ini harus menyimpan barangg tadi di tempat yang sudah selayaknya dan menjadi urf di masyarakatnya. Misalnya ketika yang di titipkan adalah emas perhiasan, maka ia wajib menyimpannya di tempat yang aman seperti laci lemari atau kotak khusus perhiasan.
c.       Isti’mālun nāsi hujjatun yajibul ‘amalu bihā (apa yang digunakan kebanyakan orang, bisa dijadikan argumen yang wajib dikerjakan). Contohnya ketika ada seseorang yang meminta tolong kepada orang lain untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi di rumahnya; maka ketika urf di masyarakat tersebut selalu memberikan upah untuk apa yang ia kerjakan, wajib bagi orang yang minta tolong kepadanya untuk pekerjaan yang ia kerjakan memberi upah sesuai dengan urf yang ada.



[1]  Merupakan riwayat yang hanya sampai pada perowi saja baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.
[2] Riwayat tersebut dianggap sampai kepada Rosululloh atau memiliki posisi seperti hadis Nabi .
[3] Barang titipan

0 komentar:

Posting Komentar