Kamis, 26 Juli 2012

KAIDAH I

0 komentar
(( الأمور بمقاصدها ))
 HUKUM SETIAP PERMASALAHAN DIKAITKAN DENGAN NIAT


A.    LANDASAN KAIDAH
Alloh l berfirman:
$tBur tb$Ÿ2 C§øÿuZÏ9 br& |NqßJs? žwÎ) ÈbøŒÎ*Î/ «!$# $Y7»tFÏ. Wx§_xsB 3 ÆtBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4 ÌôfuZyur tûï̍Å3»¤±9$# ÇÊÍÎÈ  
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imron [3]: 145)

Rosululloh n bersabda:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ ((إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلُهُ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلُهُ وَمَن كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجَهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ))
Dari 'Umar bin Khathab a berkata: "saya telah mendengar Rasulullah n bersabda: "Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya, bagi setiap orang apa yang mereka niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan bagian dari dunia atau agar mendapat wanita untuk dinikahi, maka hijrahnya sesuai dengan tujuan ia berhijrah."[1]

B.     PENJELASAN KAIDAH
Kaidah ini dimaksudkan bahwa hukum syar'i yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam kehidupannya berkisar pada maksud atau niat mereka dalam mengerjakan perbuatan itu. Karena bisa jadi ada dua orang yang melakukan perbuatan yang sama, akan tetapi memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Seperti dua orang yang membunuh orang lain misalnya, orang yang pertama terkena hukum qishas dan yang kedua tidak terkena qishas, akan tetapi ia harus memerdekakan budak dan membayar diyat.[2] Dan oleh karena niat itulah, para sahabat heran ketika dalam satu kesempatan Nabi n bersabda, ‘Jika dua orang muslim bertemu dengan menghunus pedangnya, maka orang yang membunuh dan orang yang dibunuh di neraka.’ Dan seketika itu juga para sahabat mengatakan, ‘kalau orang yang membunuh, maka jelas bagi kami mengapa ia masuk neraka; tapi bagaimana dengan orang yang terbunuh?’ Rosululloh n bersabda, ‘Sesungguhnya ia sangat ingin membunuh saudaranya.’[3]

C.    PENERAPAN KAIDAH
Kaidah ini dapat diterapkan dalam banyak masalah fiqih, karena hadits yang menjadi landasan kaidah ini merupakan hadits yang sangat bermanfaat dan masuk ke berbagai cabang ilmu. Bahkan para ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ibnu Mahdi, Ibnu Madini, Abu Daud, dan Imam Daruquthni sepakat bahwa hadits niat ini mencakup sepertiga dari ilmu. Yang maksudnya dijelaskan oleh Imam Baihaqi v bahwa upaya seorang hamba dapat terjadi dengan tiga hal; dengan hatinya, lisannya dan anggota badan yang lainnya. Dan niat merupakan bagian terpenting dari tiga sisi itu, karena niat itu sendiri bisa jadi merupakan ibadah yang terpisah, akan tetapi ibadah yang lain sangat bergantung terhadapnya.[4] Di samping itu para ulama juga menyatakan bahwa hadis niat ini merupakan salah satu dari tiga hadis yang menjadi tempat kembalinya seluruh hukum Islam. Adapun kedua hadis lainnya yang menjadi sumber dalam hukum adalah:
((مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد))
“Barangsiapa mengada-adakan dalam agamaku ini sesuatu yang bukan termasuk darinya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim)
((إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ))
“Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang harampun telah jelas. Dan diantara keduanya adalah hal-hal yang masih meragukan yang banyak manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang terjatuh pada hal-hal yang syubhat, maka ia terjatuh pada yang haram sebagaimana seorang penggembala yang menggembala di sekitar tanah yang sudah dipagar yang dikhawatirkan hewan gembalaan akan masuk ke sana. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki tanah yang dibatasi; ketahuilah bahwa batasan Alloh adalah hal-hal yang Ia haramkan; ketahuilah bahwa dalam jasad manusia ada segumpal darah, yang jika ia baik maka akan baiklah seluruh jasad, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya; ketahuilah segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Muslim)
Bahkan Imam Syafi’i v juga menyatakan bahwa hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam ilmu fiqih.[5]
Diantara contoh penerapan kaidah ini adalah dalam masalah-masalah berikut:
    1. Ibadat: Thoharoh, Sholat, Shoum, Zakat, dan Haji.
    2. Munakahat: seperti hukum nikah bagi orang yang ingin menegakkan sunnah Rosululloh n dan orang yang berniat akan mendzolimi wanita yang ia nikahi.
    3. Muamalat: jual beli, hibah, waqaf, wasiat, sewa menyewa, dll. Contohnya dalam masalah barang temuan, ketika ada sebuah barang yang ditemukan, maka orang yang menemukan barang tersebut memiliki dua kemungkinan. Pertama, orang tersebut mengambil barang tadi dengan niat menjaganya dan akan mengembalikan kepada pemiliknya. Dan kemungkinan kedua ia mengambil barang tersebut untuk dimiliki sendiri.
Pada kondisi pertama, orang yang menemukan tadi tidak dituntut untuk menjamin atau mengganti barang tersebut ketika rusak atau hilang tanpa ada campur tangannya. Akan tetapi pada kondisi kedua orang tersebut harus menjamin atau mengganti kerusakan dan kehilangan barang itu. Baik barang itu rusak karena ulahnya atau karena orang lain.
    1. Jinayat: pembunuhan dan qishos serta pencurian. Dalam masalah pembunuhan misalnya, untuk menerapkan hukuman qishas perlu dilihat: apakah ia berniat membunuh orang tersebut atau tidak dan apakah orang yang ingin ia bunuh tadi benar-benar orang yang terbunuh atau tidak. Jika dia tidak bermaksud untuk membunuh atau ia berniat untuk membunuh, akan tetapi orang yang terbunuh bukan orang yang ia maksud, maka ia tidak terkena qishas; akan tetapi ia harus memerdekakan budak dan membayar diyat.
5.      Hal yang mubah dalam syari'at; contohnya: ketika ada salah seorang yang membentangkan jaring didepan rumahnya, kemudian ada burung yang terjerat oleh jaring tersebut. Jika sang pemilik jaring ini berniat menjemur atau memperbaiki jaringnya dengan cara dibentangkan, maka burung tadi boleh diambil oleh siapa saja. Akan tetapi ketika ia membentangkan jaring tersebut agar ada binatang yang terjerat disana, maka pemilik jaring tadi lebih berhak mengambilnya.[6] Dan ketika ada orang lain yang mengambil burung yang terjerat disana, maka ia dianggap telah berbuat ghosb (mengambil milik orang lain tanpa hak).
CATATAN:
  1. Hukum syar'i yang dimaksudkan di sini adalah hukum di dunia, karena maksud atau sekedar meniatkan sesuatu yang tidak diikuti dengan perbuatan nyata dalam sebuah permasalahan didunia ini tidak akan terkena hukum-hukum syar'i dalam masalah tersebut. Contohnya, ketika ada orang yang berniat untuk menceraikan istrinya yang tidak diikuti dengan pengucapan kata thalaq, baik dengan terang-terangan (sharih) atau dengan sindiran (kinayah), maka tidak jatuh thalaq suaminya itu.
  2. Sebagaimana telah kami sebutkan bahwa untuk menetapkan hukum di dunia atas aktivitas manusia dilihat dari niat dan maksud orang tersebut, maka penghalalan dan pengharaman perbuatan mereka pun bisa didasarkan pada niat dan maksud mereka. Contohnya; ketika seseorang ingin melangsungkan pernikahan; sedang dalam Islam nikah merupakan suatu hal yang sangat dianjurkan.[7] Hal ini bisa berubah menjadi haram ketika ia meniatkan pernikahannya tadi untuk mendzalimi dan memberikan bahaya (madlorot) kepada istrinya. Karena ketika Alloh l memerintahkan untuk menikah dengan wanita baik-baik sebanyak dua, tiga atau empat; atau ketika khawatir tidak mampu berlaku adil, maka dianjurkan untuk menikah dengan satu wanita saja; diakhir ayat itu Alloh l memberikan alasan yang patut kita perhatikan -yang telah dijelaskan oleh jumhur ahli tafsir- yaitu agar kalian tidak berbuat dzolim.[8]

3.      CABANG-CABANG KAIDAH
Kaidah umum di atas memiliki banyak cabang yang pada dasarnya tercakup dalam keumuman kaidah umum itu sendiri; diantaranya adalah:
a.      Al-wasāil lahā ahkām al-maqāsid (sarana yang digunakan untuk meraih sesuatu memiliki hukum sama dengan sesuatu yang ingin diraih). Karena kata "wasāil" bisa diartikan sebagai cara, sebab, konsekuensi dan syarat untuk mencapai sesuatu. Contohnya, ketika telah masuk waktu sholat maka para ulama mengatakan wajibnya bagi orang yang saat itu tidak mendapatkan air didekatnya untuk mencari air di tempat-tempat yang memungkinkan air ada di sana. Jadi hukum mencari air pada saat itu menjadi wajib, karena waktu sholat yang membuat satu sholat diwajibkan untuk dikerjakan telah tiba. Hal itu terkait wudhu yang menjadi syarat sahnya sholat, sedangkan wudhu tidak bisa dilakukan kecuali jika seseorang mendapatkan air untuk berwudhu.
b.      Mā lā yatimmu al-wājib illā bihi fahuwa wājib (jika sesuatu yang wajib tidak bisa terwujud kecuali dengan adanya sesuatu, maka hukum "sesuatu" ini menjadi wajib). Karena ketika Alloh l dan Rosululloh n memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu, maka termasuk hal yang diperintahkan adalah kita juga melaksanakan seluruh syarat tercapainya perintah tersebut. Contoh yang sering dikemukakan dalam hal ini adalah ketika Alloh memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat, maka termasuk di dalamnya adalah thahārah (bersuci). Sehingga hukum wudhu pada saat seseorang hendak melaksanakan sholat adalah wajib, karena ia merupakan syarat sahnya sholat yang hendak ia kerjakan.
Contoh semacam ini kurang tepat karena sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Abdul Karim Zaidan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah sesuatu yang tidak memiliki landasan dalil langsung. Beliau berkata: “Sesuatu yang membuat keberadaan yang lainnya tergantung padanya bisa dikelompokkan ke dalam dua hal; yaitu: sesuatu yang berada di luar kemampuan mukallaf dan sesuatu yang dapat dilakukan oleh mukallaf. Sesuatu yang berada di luar kemampuan basyari tentu tidak termasuk ke dalam pembahasan ini; adapun sesuatu yang dapat dilakukan oleh seorang mukallaf dapat kita kategorikan lagi ke dalam dua sisi; yaitu: sesuatu yang memiliki dalil wajib tersendiri dan sesuatu yang tidak memiliki dalil khusus atas kewajibannya. Dan sisi kedua inilah yang dimaksudkan di sini. Contoh untuk sisi pertama adalah apa yang tertera di atas  sedangkan untuk sisi kedua contohnya adalah ibadah haji yang tidak akan dapat tertunaikan kecuali dengan melakukan perjalanan ke kota suci, sehingga hukum perjalanan ini menjadi wajib.[9]
c.       Kullu mubāhin tawassala bihi ilā tarki wājib au fi'li muharram fahuwa muharram (segala sesuatu yang hukum asalnya boleh dilakukan yang dapat mengantarkan seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang wajib atau mengerjakan sesuatu yang haram, maka sesuatu yang asalnya boleh berubah menjadi haram). Contohnya, ketika seseorang menonton televisi, dan membuat dia lalai dari kewajibannya untuk menunaikan sholat lima waktu atau bahkan televisi itu digunakan untuk menonton film-film blue, maka hukum menonton televisi pada kondisi ini berubah menjadi haram.
Al ‘Ibrotu fil ‘Uqūd lil maqōsid wal ma’āni lā lil alfādzi wal mabāni (yang dianggap dalam setiap akad adalah maksud dan makna, bukan lafadz dan bentuk perkataan). Contohnya, jika ada dua orang yang sedang bertransaksi di pasar, lalu salah seorang memberikan barang, maka transaksi atau akad ini dipandang sebagai jual beli. Karena itulah yang merupakan maksud dari transaksi mereka dan bukan akad pemberian sebagaimana yang terlontar dalam lafadz atau perilaku keduanya.[10]


[1] H.R Bukhori dan Muslim.
[2] Sebagaimana yang Allah  sebutkan dalam surat al-Māidah [5]: 45 dan al-Nisā [4]: 92.
[3] HR. Bukhori dan Muslim
[4]  Kitab al-Asybah wa an-Nadzoir (Maktabah Syamilah)
[5]  ibid
[6] Karena dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan "man sabaqa ilā al-mubāhāt fahuwa ahaqqun bihā" (barangsiapa yang terlebih dahulu mengambil sesuatu yang dibolehkan, maka ia lebih berhak atas barang tersebut). Dan hal ini didasarkan pada sebuah hadis Rosululloh  yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori (Dari Malik, dari Nafi’) dari Ibnu Umar  bahwa Nabi  bersabda: “Janganlah seseorang meminta seseorang yang duduk untuk berdiri, lalu dia duduk di tempatnya.”
[7] Walaupun hukum nikah itu akan berubah sesuai dengan kondisi masing-masing orang yang hendak menikah itu. Bisa wajib, sunnah, haram, makruh dan boleh. Sebagaimana yang dijelaskan dalam madzhab hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad Ibn Hanbal ), karena para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah itu sendiri.
[8]  Lihat surat an-Nisa [4]: 3 dan tafsir Ibnu Katsir.
[9] al-Wajiz fii Ushulil Fiqhi, Dr. Abdul Karim Zaidan, penerbit ar Risalah, hal. 237.
[10]  Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, Drs. H. Abdul Mudjib, penerbit Kalam mulia, hal. 18-19.

0 komentar:

Posting Komentar