Kamis, 26 Juli 2012

KAIDAH II

0 komentar


(( اليقين لا يزول بالشك ))
SESUATU YANG YAKIN ADANYA TIDAK BISA HILANG DISEBABKAN OLEH DUGAAN YANG BELUM PASTI

A.    LANDASAN KAIDAH
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَىْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا ».
Dari Abu hurairoh a ia berkata, ‘Rosululloh n bersabda: “Jika salah seorang dari kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia bingung apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau tidak; maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau ia mencium bau.”[1]

B.     PENJELASAN KAIDAH
Yang dimaksud dengan "yaqin" disini adalah: sampainya seseorang pada kepastian terjadi atau tidaknya sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan "syak" adalah: keraguan seseorang atas terjadi atau tidaknya sesuatu. Jadi, kaidah ini berarti bahwa sesuatu yang yakin adanya tidak bisa dihilangkan dengan keraguan yang timbul tiba-tiba, akan tetapi keyakinan itu akan hilang dengan keyakinan yang semisalnya atau yang lebih kuat bukan dengan sesuatu yang lebih lemah.
Imam Nawawi v setelah menjelaskan hadits ini mengatakan: "Hadits ini merupakan masalah pokok dalam Islam dan merupakan kaidah yang besar sekali dari kaidah-kaidah fiqh, bahwa segala sesuatu akan dihukumi tetap keberadaanya pada hukum asalnya sampai ada keyakinan lain yang berseberangan dengannya, dan tidak akan memberikan pengaruh ketika timbul keraguan atas hukum pertama."[2]
Hal senada diungkapkan oleh Imam al-Zarqa v yang mengatakan: "Hadits ini merupakan ibu dari kaidah-kaidah yang ada, dimana hukum-hukum fiqh akan berporos pada kaidah ini. Bahkan telah dikatakan bahwa kaidah ini masuk ke seluruh bab-bab fiqh dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya yang sampai pada tiga perempat (3/4) dari ilmu fiqh."[3]
Sehingga segala sesuatu yang kita ragukan keberadaannya, hukum asalnya adalah tidak ada dan segala sesuatu yang kita ragukan jumlahnya, maka kita mengambil jumlah yang paling kecil. Karena itulah yang yakin adanya, sedang yang lainnya adalah masalah yang masih diragukan.
Dalam sebuah hadits shohih dari Abu Sa’id al Khudri a, Rosululloh n bersabda:
(( إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ ))
“Jika salah seorang dari kalian ragu dalam sholatnya, sehingga ia tidak tahu apakah ia telah sholat tiga rokaat atau empat rokaat; maka buanglah keraguannya dan hitunglah rokaat sholatnya sesuai dengan apa yang ia yakini. Lalu bersujud dua kali sebelum salam. Jika ternyata ia sholat 5 rokaat, maka ia telah menyempurnakan sholatnya. Dan jika ia sholat genap empat, maka ini untuk menghinakan setan.” [4]
Dan lebih rinci lagi apa yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam sunannya dan di shohihkan oleh Syeikh al-Albani v dari sahabat Abdurrohman bin ‘Auf a, dia berkata, ‘Saya mendengar Rosululloh n bersabda:
(( إذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ ، فَلَمْ يَدْرِ : وَاحِدَةً صَلَّى ، أَمْ اثْنَتَيْنِ ؟ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ. فَإِنْ لَمْ يَتَيَقَّنْ : صَلَّى اثْنَتَيْنِ ، أَمْ ثَلَاثًا ؟ فَلْيَبْنِ عَلَى اثْنَتَيْنِ ، فَإِنْ لَمْ يَدْرِ : أَثَلَاثًا صَلَّى أَمْ أَرْبَعًا ؟ فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاثٍ ، وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ ))
“Jika salah seorang diantara kalian lalai dalam sholatnya, hingga ia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat satu rokaat atau dua rokaat; maka hitunglah bilangan rokaat sholatnya baru satu. Jika dia tidak yakin apakah dia telah sholat dua rokaat atau tiga, maka hitunglah bilangan rokaat sholatnya dua. Jika dia tidak tahu sudah sholat tiga rokaat atau empat, maka hitunglah bilangan rokaat sholatnya tiga; lalu sujud dua kali sebelum salam.”

C.    PENERAPAN KAIDAH
Diantara penerapan kaidah ini adalah dalam hal-hal berikut:
1.      Dalam thaharah. Barangsiapa yang yakin bahwa dia telah bersuci (thaharah), lalu ia ragu apakah thaharah yang ia lakukan sudah batal atau belum, maka ia dihukumi bahwa ia masih dalam kondisi suci. Demikian juga sebaliknya, jika ia belum bersuci atau ia telah batal dari bersucinya, lalu ia ragu apakah ia sudah bersuci kembali atau belum, maka ia dihukumi belum bersuci.
2.      Dalam Shalat. Barangsiapa yang telah melakukan sebuah pekerjaan, lalu ia ragu atas sedikit banyaknya perbuatannya tadi, maka orang ini dihukumi telah melakukan perbuatan yang paling sedikit, karena yang paling sedikit inilah yang diyakini telah dilakukan olehnya. Dan dalam shalat misalnya seseorang ragu tentang jumlah raka'at yang telah ia kerjakan, maka Nabi n telah memberikan solusi sebagai berikut: "Jika salah seorang diantara kalian lupa dalam shalatnya dan tidak ingat sudah berapa raka'at ia shalat satu atau dua, maka anggaplah ia baru shalat satu raka'at. Kalau ia tidak ingat sudah shalat dua raka'at atau tiga, maka anggaplah ia telah shalat dua raka'at. Kalau ia tidak ingat apakah dia telah shalat tiga raka'at atau empat, maka anggaplah ia baru shalat tiga raka'at. Lalu bersujudlah dua kali sebelum melakukan salam."[5]
3.      Dalam mu'āmalah māliyah. Contohnya dalam masalah hutang piutang. Seseorang yang berhutang akan tetap dihukumi berhutang ketika muncul keraguan dalam jiwa apakah ia sudah membayar hutang tersebut atau belum, selama ia sendiri belum membayarnya atau belum ada orang lain yang membayar hutang tersebut untuknya atau dia tidak memiliki bukti atas klaimnya karena al-Bayyinatu ‘ala al-Mudda’i wa al-Yamin ‘ala al-mudda’a alaihi.[6]
4.      Dalam nikah. Barangsiapa yang telah menikahi seorang wanita, hubungan keduanya tidak bisa terputus kecuali dengan sesuatu yang yakin terjadi. Contohnya ketika ia berniat untuk menceraikan istrinya. Kemudian ia ragu apakah kata cerai telah ia ungkapkan atau belum, maka hubungan suami istri dari keduanya adalah tetap ada dan mereka tidak dipisahkan.
5.      Dalam shaum. Barangsiapa yang makan sahur diakhir waktu dan ia ragu akan terbitnya fajar, maka puasanya akan tetap sah karena hukum asalnya adalah bahwa waktu itu masih malam.

D.    CABANG-CABANG KAIDAH
Diantara cabang dari kaidah ini adalah:
1.      Al-ashlu baqāu mā kāna 'alā mā kāna (menetapkan hukum sesuatu yang telah ada sebelum ada yang merubahnya). Contohnya, jika seorang suami telah menceraikan istrinya dengan cerai yang pertama, kemudian ia ragu apakah istrinya sudah selesai masa iddah (menunggu) nya atau belum, maka hukum asalnya wanita itu masih dalam masa iddah.
2.      Al-ashlu fī al-abdhā'i al-tahrīm (hukum asal dalam masalah al-furūj (kemaluan) adalah haram). Contohnya, jika seseorang memiliki empat orang budak, dan salah satu budaknya itu telah ia merdekakan. Akan tetapi ia lupa budak yang mana yang telah ia merdekakan, maka tidak boleh baginya untuk menggauli semua budak yang ada dan tidak boleh pula menjualnya sampai telah diketahui budak yang telah ia merdekakan.
3.      Al-ashlu fī al-asyyāi al-ibāhah (hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh -untuk dinikmati-). Contohnya, ketika kita tidak mengetahui hukum tentang seekor hewan, kemudian saat itu tidak ada yang bisa kita tanya tentang hukum hewan tersebut, maka hukum binatang tadi adalah halal.




[1] H.R Muslim.
[2] Syarh Shahih Muslim, al-Nawawi.
[3] Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, al-Zarqa. Yang menyatakan bahwa kaidah ini masuk sebanyak 3/4 dari masalah fiqh adalah al-Imam al-Suyuthi  dalam kitabnya "al-Asybah wa al-Nadloir"
[4]  H.R Muslim.
[5] H.R Tirmidzi .
[6] Lihat dalam Shohih al-Bukhori Kitab asy-Syahadat

0 komentar:

Posting Komentar