(( اليقين لا
يزول بالشك ))
SESUATU YANG YAKIN ADANYA TIDAK BISA HILANG
DISEBABKAN OLEH DUGAAN YANG BELUM PASTI
A.
LANDASAN KAIDAH
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ
شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَىْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ
الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا ».
Dari
Abu hurairoh
ia berkata, ‘Rosululloh
bersabda: “Jika salah seorang dari kalian
merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia bingung apakah telah keluar sesuatu
dari perutnya atau tidak; maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia
mendengar suara atau ia mencium bau.”[1]


B.
PENJELASAN KAIDAH
Yang
dimaksud dengan "yaqin" disini adalah: sampainya seseorang
pada kepastian terjadi atau tidaknya sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan "syak"
adalah: keraguan seseorang atas terjadi atau tidaknya sesuatu. Jadi, kaidah ini
berarti bahwa sesuatu yang yakin adanya tidak bisa dihilangkan dengan keraguan
yang timbul tiba-tiba, akan tetapi keyakinan itu akan hilang dengan keyakinan
yang semisalnya atau yang lebih kuat bukan dengan sesuatu yang lebih lemah.
Imam
Nawawi
setelah menjelaskan hadits ini mengatakan:
"Hadits ini merupakan masalah pokok dalam Islam dan merupakan kaidah yang
besar sekali dari kaidah-kaidah fiqh, bahwa segala sesuatu akan dihukumi tetap
keberadaanya pada hukum asalnya sampai ada keyakinan lain yang berseberangan
dengannya, dan tidak akan memberikan pengaruh ketika timbul keraguan atas hukum
pertama."[2]

Hal
senada diungkapkan oleh Imam al-Zarqa
yang mengatakan: "Hadits ini merupakan
ibu dari kaidah-kaidah yang ada, dimana hukum-hukum fiqh akan berporos pada
kaidah ini. Bahkan telah dikatakan bahwa kaidah ini masuk ke seluruh bab-bab
fiqh dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya yang sampai pada tiga
perempat (3/4) dari ilmu fiqh."[3]

Sehingga
segala sesuatu yang kita ragukan keberadaannya, hukum asalnya adalah tidak ada
dan segala sesuatu yang kita ragukan jumlahnya, maka kita mengambil jumlah yang
paling kecil. Karena itulah yang yakin adanya, sedang yang lainnya adalah
masalah yang masih diragukan.
Dalam
sebuah hadits shohih dari Abu Sa’id al Khudri
, Rosululloh
bersabda:


(( إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ
فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ
عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ
صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ
كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ ))
“Jika salah
seorang dari kalian ragu dalam sholatnya, sehingga ia tidak tahu apakah ia
telah sholat tiga rokaat atau empat rokaat; maka buanglah keraguannya dan
hitunglah rokaat sholatnya sesuai dengan apa yang ia yakini. Lalu bersujud dua
kali sebelum salam. Jika ternyata ia sholat 5 rokaat, maka ia telah
menyempurnakan sholatnya. Dan jika ia sholat genap empat, maka ini untuk
menghinakan setan.” [4]
Dan lebih rinci lagi apa yang diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi dalam sunannya dan di shohihkan oleh Syeikh al-Albani
dari sahabat Abdurrohman bin ‘Auf
, dia
berkata, ‘Saya mendengar Rosululloh
bersabda:



(( إذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ ، فَلَمْ يَدْرِ : وَاحِدَةً
صَلَّى ، أَمْ اثْنَتَيْنِ ؟ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ. فَإِنْ لَمْ يَتَيَقَّنْ
: صَلَّى اثْنَتَيْنِ ، أَمْ ثَلَاثًا ؟ فَلْيَبْنِ عَلَى اثْنَتَيْنِ ، فَإِنْ لَمْ
يَدْرِ : أَثَلَاثًا صَلَّى أَمْ أَرْبَعًا ؟ فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاثٍ ، وَلْيَسْجُدْ
سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ ))
“Jika salah
seorang diantara kalian lalai dalam sholatnya, hingga ia tidak mengetahui
apakah dia sudah sholat satu rokaat atau dua rokaat; maka hitunglah bilangan
rokaat sholatnya baru satu. Jika dia tidak yakin apakah dia telah sholat dua
rokaat atau tiga, maka hitunglah bilangan rokaat sholatnya dua. Jika dia tidak
tahu sudah sholat tiga rokaat atau empat, maka hitunglah bilangan rokaat sholatnya
tiga; lalu sujud dua kali sebelum salam.”
C.
PENERAPAN KAIDAH
Diantara penerapan kaidah ini
adalah dalam hal-hal berikut:
1. Dalam thaharah.
Barangsiapa yang yakin bahwa dia telah bersuci (thaharah), lalu ia ragu apakah
thaharah yang ia lakukan sudah batal atau belum, maka ia dihukumi bahwa ia
masih dalam kondisi suci. Demikian juga sebaliknya, jika ia belum bersuci atau
ia telah batal dari bersucinya, lalu ia ragu apakah ia sudah bersuci kembali
atau belum, maka ia dihukumi belum bersuci.
2. Dalam Shalat.
Barangsiapa yang telah melakukan sebuah pekerjaan, lalu ia ragu atas sedikit
banyaknya perbuatannya tadi, maka orang ini dihukumi telah melakukan perbuatan
yang paling sedikit, karena yang paling sedikit inilah yang diyakini telah
dilakukan olehnya. Dan dalam shalat misalnya seseorang ragu tentang jumlah
raka'at yang telah ia kerjakan, maka Nabi
telah memberikan solusi sebagai berikut:
"Jika salah seorang diantara kalian lupa dalam shalatnya dan tidak ingat
sudah berapa raka'at ia shalat satu atau dua, maka anggaplah ia baru shalat
satu raka'at. Kalau ia tidak ingat sudah shalat dua raka'at atau tiga, maka
anggaplah ia telah shalat dua raka'at. Kalau ia tidak ingat apakah dia telah
shalat tiga raka'at atau empat, maka anggaplah ia baru shalat tiga raka'at.
Lalu bersujudlah dua kali sebelum melakukan salam."[5]

3. Dalam mu'āmalah
māliyah. Contohnya dalam masalah hutang piutang. Seseorang yang berhutang akan
tetap dihukumi berhutang ketika muncul keraguan dalam jiwa apakah ia sudah
membayar hutang tersebut atau belum, selama ia sendiri belum membayarnya atau
belum ada orang lain yang membayar hutang tersebut untuknya atau dia tidak
memiliki bukti atas klaimnya karena al-Bayyinatu ‘ala al-Mudda’i wa al-Yamin
‘ala al-mudda’a alaihi.[6]
4. Dalam nikah.
Barangsiapa yang telah menikahi seorang wanita, hubungan keduanya tidak bisa
terputus kecuali dengan sesuatu yang yakin terjadi. Contohnya ketika ia berniat
untuk menceraikan istrinya. Kemudian ia ragu apakah kata cerai telah ia
ungkapkan atau belum, maka hubungan suami istri dari keduanya adalah tetap ada
dan mereka tidak dipisahkan.
5. Dalam shaum.
Barangsiapa yang makan sahur diakhir waktu dan ia ragu akan terbitnya fajar,
maka puasanya akan tetap sah karena hukum asalnya adalah bahwa waktu itu masih
malam.
D.
CABANG-CABANG KAIDAH
Diantara
cabang dari kaidah ini adalah:
1. Al-ashlu
baqāu mā kāna 'alā mā kāna (menetapkan
hukum sesuatu yang telah ada sebelum ada yang merubahnya). Contohnya, jika
seorang suami telah menceraikan istrinya dengan cerai yang pertama, kemudian ia
ragu apakah istrinya sudah selesai masa iddah (menunggu) nya atau belum,
maka hukum asalnya wanita itu masih dalam masa iddah.
2. Al-ashlu
fī al-abdhā'i al-tahrīm (hukum
asal dalam masalah al-furūj (kemaluan) adalah haram). Contohnya, jika seseorang
memiliki empat orang budak, dan salah satu budaknya itu telah ia merdekakan.
Akan tetapi ia lupa budak yang mana yang telah ia merdekakan, maka tidak boleh
baginya untuk menggauli semua budak yang ada dan tidak boleh pula menjualnya
sampai telah diketahui budak yang telah ia merdekakan.
3. Al-ashlu
fī al-asyyāi al-ibāhah (hukum
asal dari segala sesuatu adalah boleh -untuk dinikmati-). Contohnya, ketika
kita tidak mengetahui hukum tentang seekor hewan, kemudian saat itu tidak ada
yang bisa kita tanya tentang hukum hewan tersebut, maka hukum binatang tadi
adalah halal.
0 komentar:
Posting Komentar