(( لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ ))
TIDAK BOLEH MEMBAHAYAKAN ORANG LAIN DAN MEMBALAS MADHARAT
DENGAN MADHARAT
A.
LANDASAN KAIDAH
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( لَا ضَرَرَ وَلَا
ضِرَارَ ))
Dari
Ibnu 'Abbas
, beliau berkata:
"Rasulullah
bersabda:
"Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain dan tidak
boleh pula untuk menolak bahaya dengan bahaya yang lain."[1]


B.
PENJELASAN KAIDAH
Kaidah
ini memiliki dua sisi penting, yaitu:
Pertama, kata "Lā Dhororo" yang berarti tidak boleh bagi siapapun
untuk melakukan tindakan yang membahayakan orang lain. Baik jiwanya, harga
dirinya, dan juga hartanya. Karena melakukan tindakan yang membahayakan berarti
telah berbuat dzalim dan perbuatan ini telah diharamkan oleh Islam. Dan bahaya
disini adalah bahaya yang besar secara umum, walaupun hal itu timbul dari
sesuatu yang mungkin hukum asalnya adalah boleh. Seperti ketika seseorang
menggali sumur di rumahnya atau disamping tembok tetangganya, atau menembok
rumahnya yang mengakibatkan rumah tetangganya terhalang dari cahaya sinar
matahari untuk masuk secara total. Perbuatan yang ia lakukan di rumahnya tadi
adalah perbuatan yang boleh, karena tempat itu adalah miliknya, akan tetapi
ketika hal itu menyebabkan tetangga kita mendapat dampak buruk yang berbahaya
dari perilaku yang hukum asalnya dibolehkan tadi, maka perbuatan itu terlarang.
Adapun kalau dari perilaku yang boleh tadi hanya menimbulkan sedikit bahaya,
seperti tembok yang ia dirikan hanya menghalangi salah satu jendela kamar rumah
tetangga, maka hal ini dibolehkan[2].
Kedua, kata "Wa Lā Dhirār" yang berarti kita tidak
boleh membalas suatu bahaya yang ditimbulkan orang lain kepada kita dengan
bahaya yang sama. Akan tetapi seharusnya orang yang mendapatkan bahaya dari orang
lain ini mengadukan masalah tersebut kepada pihak yang berwenang dalam masalah
yang ia hadapi. Sehingga tidak boleh orang yang uangnya dicuri oleh orang lain,
kemudian ia mencuri uang orang lainnya lagi untuk mengganti rugi uangnya yang
hilang.
Sebenarnya ada perbedaan
pendapat dikalangan ulama dalam mengartikan kata dhirar dan yang paling
tepat adalah apa yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami
ketika mensyarah hadits arba'in Imam Nawawi
yang menyatakan: "makna dari kata yang
pertama (dharar) adalah melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain.
Sedang makna kata yang kedua (dhirar) adalah melakukan tindakan yang
membahayakan orang lain sebagai bentuk balasan yang tidak harus dikaitkan
dengan adanya permusuhan (membalas dengan sesuatu yang sama) dan tidak pula
dikaitkan dengan menolong kebenaran. Hal ini tentu diluar hukuman yang
diterapkan dalam Islam seperti qishās, hudūd, dan hukuman lain seperti ta'zir
karena hal ini juga dilakukan untuk menolak bahaya, dan hal ini juga didukung
oleh kaidah "dar'u al-mafāsid muqaddamun 'alā jalbi al-mashālih".


C.
PENERAPAN KAIDAH
Kaidah ini bisa diterapkan dalam hal-hal berikut:
1. Dalam
buyu' (jual beli): Adanya pilihan untuk melanjutkan jual beli atau
membatalkan transaksi yang telah dilakukan jika ternyata terdapat kecacatan
tertentu atas barang yang ingin dibelinya atau adanya perbedaan barang yang ia
pesan dengan barang yang diberikan oleh penjual atau distributor kepadanya. Termasuk
dalam hal ini adalah bolehnya seseorang untuk mengembalikan atau menukar barang
yang telah ia beli jika ternyata didapati ada cacat yang tidak ia ketahui saat
ia membeli barang tersebut. Kecuali jika ia telah mengetahui cacat barang
tersebut pada saat ia membelinya dan ketika itu ia ridlo dengan kondisi yang
ada, maka ia tidak diperbolehkan untuk membatalkan transaksi yang telah ia
lakukan.
2. Dalam
syarikat[3]:
Adanya hak syuf'ah[4].
Contohnya: ketika A sepakat untuk bekerja sama dengan B untuk membeli sebidang
tanah yang luasnya 1000 m2. Dimana hak A adalah 600 m2
dan hak B adalah 400 m2. kemudian si A menjual haknya ini kepada si
C sebesar Rp 6.000.000 tanpa sepengetahuan si B. Maka ketika penjualan sudah
berlangsung, akan tetapi belum diadakan pembagian yang jelas tentang tanah
tersebut, maka si B berhak untuk mengembalikan uang Rp 6.000.000 milik si C dan
mengambil tanah itu sebagai miliknya dengan membayar harga tanah itu kepada si
A.
3.
Dalam Ījārah (sewa menyewa): ketika
seseorang menyewa sebidang tanah untuk ditanami padi selama satu tahun misalnya.
Kemudian saat waktu sewa yang telah ditentukan habis dan padi yang ditanam tadi
belum bisa dipanen, sang pemilik tanah bukan serta merta boleh mengambil
tanahnya dan padi yang ada di atasnya. Akan tetapi ia harus membiarkan padi itu
sampai bisa dipanen dengan asumsi agar tidak ada madharat berupa
kerugian yang harus ditanggung orang yang menyewa tanah tersebut dengan tetap
membayar uang sewa tanah tambahan itu.
4.
Dalam bab nikah; kaidah ini dapat diberlakukan seperti ketika harus terjadi fasakh
(pembatalan akad nikah yang telah terjadi) dikarenakan adanya hal tertentu yang
akan membahayakan salah satu pihak dari pasangan atau adanya cacat tertentu
yang akan mengancam hubungan keduanya dalam rumah tangga.
D.
CABANG-CABANG KAIDAH
Diantara
cabang-cabang dari kaidah ini adalah:
1.
Al-Dhararu yuzāl (setiap bahaya yang telah
terjadi harus dihilangkan). Contoh dari kaidah ini pada hakekatnya adalah
penerapan dari kaidah yang ada, seperti mengembalikan barang yang telah dibeli
karena terdapat cacat didalamnya, adanya pilihan untuk melanjutkan jual beli
atau membatalkannya, membatasi orang-orang tertentu dalam menggunakan harta
seperti orang yang sangat boros dalam membelanjakan hartanya, hak syuf'ah dalam
bekerjasama, hukum qishash, hudud, pembayaran kaffarat, pembayaran jaminan atas
sesuatu, diangkatnya seorang jaksa dan yang lainnya, serta disyari'atkannya
fasakh nikah karena adanya aib pada salah satu pasangan suami isteri.
2.
Al-Dharūrāt
tubīhu
al-mahdzūrāt (kondisi-kondisi terdesak dapat
menjadikan hal-hal yang hukum asalnya haram menjadi boleh). Kaidah ini
merupakan pengembangan dari dua kaidah lain yaitu kaidah al-masyaqqatu
tajlibu al-taisir (kondisi-kondisi yang memberatkan akan mendatangkan
kemudahan) dan kaidah idzā dhaqa al-amru ittasa'a wa idza ittasa'a dhaqa (ketika sebuah permasalahan
semakin rumit, maka hukum yang berlaku baginya akan semakin lues dan ketika
masalahnya dalam kondisi normal, maka hukumnya akan kembali menyempit). Dalam
hal ini kita melihat dari sisi bahwa dibolehkannya sesuatu yang hukum asalnya
adalah haram dalam kondisi-kondisi terdesak adalah upaya untuk mencegah
terjadinya bahaya bagi jiwa atau yang lainnya. Seperti ketika ia berada di tengah
hutan belantara dan perbekalan yang ia bawa telah habis dan ia tidak
mendapatkan makanan apapun kecuali binatang buas yang bertaring atau bangkai.
Maka ia akan diperbolehkan oleh syari'at untuk memakan binatang itu untuk
menghindari hilangnya nyawa disebabkan tidak adanya makanan yang halal.
3.
Al-Dharūrāt
tuqoddaru bi qodarihā
(kondisi-kondisi
terdesak diukur sesuai dengan kebutuhannya). Kaidah ini merupakan bentuk
pembatasan terhadap kaidah Al-Dharūrāt tubīhu al-mahdzūrāt dan juga merupakan penjelasan
dari kaidah idzā
dhaqa al-amru ittasa'a wa idza ittasa'a dhaqa. Sehingga kondisi darurat yang telah
membuat seseorang melakukan hal yang hukum asalnya diharamkan ini, tidak boleh
membuat orang ini melakukan hal yang berlebihan, melebihi kadar yang dibutuhkan
untuk menghilangkan bahaya yang bisa ditimbulkan kalau ia tidak melakukan hal
yang diharamkan itu.
4.
ad-Dhararu tudfa' biqadri al-imkān (bahaya-bahaya yang timbul
harus bisa diminimalisir sebisa mungkin).
5.
ad-Dhararu la tudfa' bi mitslihi (semua bahaya tidak dilawan
dengan bahaya yang semisalnya).
6.
Idzā ta'āradha mafsadatān ru'iya a'dzamuha
dhararan birtikābi akhaffihima (jika
bertentangan antara dua hal yang sama-sama berbahaya, maka diperhatikan yang
paling besar bahayanya dengan cara menempuh yang lebih sedikit bahayanya dari
keduanya).
[2] Walaupun kaum muslimin tetap dituntut
untuk meminimalisir bahaya yang ditimbulkan, karena hal ini akan selaras dengan
kaidah lain yang termasuk cabang dari kaidah ini yaitu "al-dhararu
yuzāl" dan "al-dharar yudfa' biqodri al-imkān".
[3] Syarikah adalah sebuah kerja sama dalam
hal tertentu yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan ketentuan tertentu
yang disepakati oleh semua pihak yang tergabung dalam kerjasama tersebut; seperti
bersyarikah dengan menanam modal untuk berjualan.
[4] Yaitu ketika dua orang
bersyarikat dalam sesuatu, maka ketika salah satu dari keduanya ingin menjual
bagiannya, teman syarikatnya ini lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang
hendak dijual tersebut daripada orang lain di luar mereka. Bahkan ketika salah
satu dari keduanya menjual bagiannya kepada orang lain tanpa sepengetahuan
teman syarikahnya, dibolehkan baginya untuk mengambil bagian temannya tadi secara
paksa dengan mengembalikan jumlah harta yang telah dibayarkan oleh pihak ketiga
tadi atau membatalkan kesepakatan jual beli antara keduanya. Hal ini dilakukan
selama pihak ketiga belum memiliki bukti kuat tentang kepemilikannya atas
barang tersebut. Karena ketika semuanya sudah jelas menjadi milik orang ketiga
ini, hak syuf'ahnya gugur. Walllahu ta'ala a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar