Kamis, 26 Juli 2012

KAIDAH III

0 komentar


(( لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ ))
TIDAK BOLEH MEMBAHAYAKAN ORANG LAIN DAN MEMBALAS MADHARAT DENGAN MADHARAT

A.          LANDASAN KAIDAH
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ ))
Dari Ibnu 'Abbas a, beliau berkata: "Rasulullah n bersabda: "Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain dan tidak boleh pula untuk menolak bahaya dengan bahaya yang lain."[1]


B.           PENJELASAN KAIDAH
Kaidah ini memiliki dua sisi penting, yaitu:
Pertama, kata "Lā  Dhororo" yang berarti tidak boleh bagi siapapun untuk melakukan tindakan yang membahayakan orang lain. Baik jiwanya, harga dirinya, dan juga hartanya. Karena melakukan tindakan yang membahayakan berarti telah berbuat dzalim dan perbuatan ini telah diharamkan oleh Islam. Dan bahaya disini adalah bahaya yang besar secara umum, walaupun hal itu timbul dari sesuatu yang mungkin hukum asalnya adalah boleh. Seperti ketika seseorang menggali sumur di rumahnya atau disamping tembok tetangganya, atau menembok rumahnya yang mengakibatkan rumah tetangganya terhalang dari cahaya sinar matahari untuk masuk secara total. Perbuatan yang ia lakukan di rumahnya tadi adalah perbuatan yang boleh, karena tempat itu adalah miliknya, akan tetapi ketika hal itu menyebabkan tetangga kita mendapat dampak buruk yang berbahaya dari perilaku yang hukum asalnya dibolehkan tadi, maka perbuatan itu terlarang. Adapun kalau dari perilaku yang boleh tadi hanya menimbulkan sedikit bahaya, seperti tembok yang ia dirikan hanya menghalangi salah satu jendela kamar rumah tetangga, maka hal ini dibolehkan[2].
Kedua, kata "Wa Lā Dhirār" yang berarti kita tidak boleh membalas suatu bahaya yang ditimbulkan orang lain kepada kita dengan bahaya yang sama. Akan tetapi seharusnya orang yang mendapatkan bahaya dari orang lain ini mengadukan masalah tersebut kepada pihak yang berwenang dalam masalah yang ia hadapi. Sehingga tidak boleh orang yang uangnya dicuri oleh orang lain, kemudian ia mencuri uang orang lainnya lagi untuk mengganti rugi uangnya yang hilang.
Sebenarnya ada perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam mengartikan kata dhirar dan yang paling tepat adalah apa yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami v ketika mensyarah hadits arba'in Imam Nawawi v yang menyatakan: "makna dari kata yang pertama (dharar) adalah melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain. Sedang makna kata yang kedua (dhirar) adalah melakukan tindakan yang membahayakan orang lain sebagai bentuk balasan yang tidak harus dikaitkan dengan adanya permusuhan (membalas dengan sesuatu yang sama) dan tidak pula dikaitkan dengan menolong kebenaran. Hal ini tentu diluar hukuman yang diterapkan dalam Islam seperti qishās, hudūd, dan hukuman lain seperti ta'zir karena hal ini juga dilakukan untuk menolak bahaya, dan hal ini juga didukung oleh kaidah "dar'u al-mafāsid muqaddamun 'alā jalbi al-mashālih".

C.          PENERAPAN KAIDAH
Kaidah ini bisa diterapkan dalam hal-hal berikut:
1. Dalam buyu' (jual beli): Adanya pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkan transaksi yang telah dilakukan jika ternyata terdapat kecacatan tertentu atas barang yang ingin dibelinya atau adanya perbedaan barang yang ia pesan dengan barang yang diberikan oleh penjual atau distributor kepadanya. Termasuk dalam hal ini adalah bolehnya seseorang untuk mengembalikan atau menukar barang yang telah ia beli jika ternyata didapati ada cacat yang tidak ia ketahui saat ia membeli barang tersebut. Kecuali jika ia telah mengetahui cacat barang tersebut pada saat ia membelinya dan ketika itu ia ridlo dengan kondisi yang ada, maka ia tidak diperbolehkan untuk membatalkan transaksi yang telah ia lakukan.
2. Dalam syarikat[3]: Adanya hak syuf'ah[4]. Contohnya: ketika A sepakat untuk bekerja sama dengan B untuk membeli sebidang tanah yang luasnya 1000 m2. Dimana hak A adalah 600 m2 dan hak B adalah 400 m2. kemudian si A menjual haknya ini kepada si C sebesar Rp 6.000.000 tanpa sepengetahuan si B. Maka ketika penjualan sudah berlangsung, akan tetapi belum diadakan pembagian yang jelas tentang tanah tersebut, maka si B berhak untuk mengembalikan uang Rp 6.000.000 milik si C dan mengambil tanah itu sebagai miliknya dengan membayar harga tanah itu kepada si A.
3. Dalam Ījārah (sewa menyewa): ketika seseorang menyewa sebidang tanah untuk ditanami padi selama satu tahun misalnya. Kemudian saat waktu sewa yang telah ditentukan habis dan padi yang ditanam tadi belum bisa dipanen, sang pemilik tanah bukan serta merta boleh mengambil tanahnya dan padi yang ada di atasnya. Akan tetapi ia harus membiarkan padi itu sampai bisa dipanen dengan asumsi agar tidak ada madharat berupa kerugian yang harus ditanggung orang yang menyewa tanah tersebut dengan tetap membayar uang sewa tanah tambahan itu.
4. Dalam bab nikah; kaidah ini dapat diberlakukan seperti ketika harus terjadi fasakh (pembatalan akad nikah yang telah terjadi) dikarenakan adanya hal tertentu yang akan membahayakan salah satu pihak dari pasangan atau adanya cacat tertentu yang akan mengancam hubungan keduanya dalam rumah tangga.

D.          CABANG-CABANG KAIDAH
Diantara cabang-cabang dari kaidah ini adalah:
1.      Al-Dhararu yuzāl (setiap bahaya yang telah terjadi harus dihilangkan). Contoh dari kaidah ini pada hakekatnya adalah penerapan dari kaidah yang ada, seperti mengembalikan barang yang telah dibeli karena terdapat cacat didalamnya, adanya pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, membatasi orang-orang tertentu dalam menggunakan harta seperti orang yang sangat boros dalam membelanjakan hartanya, hak syuf'ah dalam bekerjasama, hukum qishash, hudud, pembayaran kaffarat, pembayaran jaminan atas sesuatu, diangkatnya seorang jaksa dan yang lainnya, serta disyari'atkannya fasakh nikah karena adanya aib pada salah satu pasangan suami isteri.
2.      Al-Dharūrāt tubīhu al-mahdzūrāt (kondisi-kondisi terdesak dapat menjadikan hal-hal yang hukum asalnya haram menjadi boleh). Kaidah ini merupakan pengembangan dari dua kaidah lain yaitu kaidah al-masyaqqatu tajlibu al-taisir (kondisi-kondisi yang memberatkan akan mendatangkan kemudahan) dan kaidah idzā dhaqa al-amru ittasa'a wa idza ittasa'a dhaqa (ketika sebuah permasalahan semakin rumit, maka hukum yang berlaku baginya akan semakin lues dan ketika masalahnya dalam kondisi normal, maka hukumnya akan kembali menyempit). Dalam hal ini kita melihat dari sisi bahwa dibolehkannya sesuatu yang hukum asalnya adalah haram dalam kondisi-kondisi terdesak adalah upaya untuk mencegah terjadinya bahaya bagi jiwa atau yang lainnya. Seperti ketika ia berada di tengah hutan belantara dan perbekalan yang ia bawa telah habis dan ia tidak mendapatkan makanan apapun kecuali binatang buas yang bertaring atau bangkai. Maka ia akan diperbolehkan oleh syari'at untuk memakan binatang itu untuk menghindari hilangnya nyawa disebabkan tidak adanya makanan yang halal.
3.      Al-Dharūrāt tuqoddaru bi qodarihā (kondisi-kondisi terdesak diukur sesuai dengan kebutuhannya). Kaidah ini merupakan bentuk pembatasan terhadap kaidah Al-Dharūrāt tubīhu al-mahdzūrāt dan juga merupakan penjelasan dari kaidah idzā dhaqa al-amru ittasa'a wa idza ittasa'a dhaqa. Sehingga kondisi darurat yang telah membuat seseorang melakukan hal yang hukum asalnya diharamkan ini, tidak boleh membuat orang ini melakukan hal yang berlebihan, melebihi kadar yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya yang bisa ditimbulkan kalau ia tidak melakukan hal yang diharamkan itu.
4.      ad-Dhararu tudfa' biqadri al-imkān (bahaya-bahaya yang timbul harus bisa diminimalisir sebisa mungkin).
5.      ad-Dhararu la tudfa' bi mitslihi (semua bahaya tidak dilawan dengan bahaya yang semisalnya).
6.      Idzā ta'āradha mafsadatān ru'iya a'dzamuha dhararan birtikābi akhaffihima (jika bertentangan antara dua hal yang sama-sama berbahaya, maka diperhatikan yang paling besar bahayanya dengan cara menempuh yang lebih sedikit bahayanya dari keduanya).



[1] H.R Ibnu Mājah  dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahīh dha'īf Ibnu Mājah.
[2] Walaupun kaum muslimin tetap dituntut untuk meminimalisir bahaya yang ditimbulkan, karena hal ini akan selaras dengan kaidah lain yang termasuk cabang dari kaidah ini yaitu "al-dhararu yuzāl" dan "al-dharar yudfa' biqodri al-imkān".
[3]  Syarikah adalah sebuah kerja sama dalam hal tertentu yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan ketentuan tertentu yang disepakati oleh semua pihak yang tergabung dalam kerjasama tersebut; seperti bersyarikah dengan menanam modal untuk berjualan.
[4] Yaitu ketika dua orang bersyarikat dalam sesuatu, maka ketika salah satu dari keduanya ingin menjual bagiannya, teman syarikatnya ini lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang hendak dijual tersebut daripada orang lain di luar mereka. Bahkan ketika salah satu dari keduanya menjual bagiannya kepada orang lain tanpa sepengetahuan teman syarikahnya, dibolehkan baginya untuk mengambil bagian temannya tadi secara paksa dengan mengembalikan jumlah harta yang telah dibayarkan oleh pihak ketiga tadi atau membatalkan kesepakatan jual beli antara keduanya. Hal ini dilakukan selama pihak ketiga belum memiliki bukti kuat tentang kepemilikannya atas barang tersebut. Karena ketika semuanya sudah jelas menjadi milik orang ketiga ini, hak syuf'ahnya gugur. Walllahu ta'ala a'lam.

0 komentar:

Posting Komentar